
Tidur pagi akibat terlalu banyak begadang dinilai tidak sehat.
Di masyarakat, masih banyak kesalahpahaman soal aturan tidur. Ada yang menganggap tidur malam empat jam lalu menambah empat jam siang hari sudah cukup.
Padahal, menurut dr. Iqbal, tubuh membutuhkan tidur malam berkualitas antara tujuh hingga delapan jam. Tidur siang boleh dilakukan, tetapi sifatnya hanya pelengkap, bukan pengganti.
Ia mengingatkan agar mahasiswa, pekerja, maupun masyarakat umum lebih disiplin dalam mengatur pola tidur.
“Kurangi penggunaan gawai berlebihan di malam hari, ciptakan rutinitas tidur yang konsisten, dan pahami bahwa tidur adalah kebutuhan dasar, sama pentingnya dengan makan dan bernapas,” katanya.
Fenomena begadang paling banyak ditemui di kalangan generasi muda. Data dari Sleep Medicine Reviews (Lo et al., 2016) menunjukkan bahwa mahasiswa yang sering begadang cenderung mengalami penurunan kemampuan kognitif, konsentrasi, serta prestasi akademik.
“Kalau sejak muda sudah terbiasa merusak ritme tidur, dampaknya bisa panjang hingga usia lanjut,” kata dr. Iqbal.
Ia menambahkan, gaya hidup sehat tidak hanya ditentukan dari apa yang dimakan atau seberapa sering berolahraga, tetapi juga bagaimana seseorang mengelola waktu tidurnya.
“Tidur cukup adalah fondasi kesehatan. Jangan tunggu sakit dulu baru sadar,” ujarnya mengingatkan.
Begadang memang tidak langsung menimbulkan rasa sakit yang kentara. Efeknya sunyi, pelan-pelan menggerogoti tubuh dari dalam.
Dari rasa kantuk sederhana, ia bisa berujung pada gangguan jantung, kerusakan otak, hingga penyakit saraf degeneratif yang tak terbayangkan.
Maka, sebelum kebiasaan sepele itu berubah menjadi bumerang, disiplin tidur malam perlu dijadikan gaya hidup baru. Karena di balik setiap jam tidur yang hilang, ada risiko kesehatan yang diam-diam sedang menunggu.
(Zulkarnaen Jumar Taufik / Muh Syaiful / Unhas.TV)