Kesehatan
Unhas Sehat

Tumor Teratoma: Ancaman Langka yang Mengintai Janin Sejak dalam Kandungan

UNHAS.TV - Pernahkah Anda membayangkan sebuah tumor yang mengandung gigi, rambut, bahkan tulang?

Itulah fenomena yang terjadi pada tumor teratoma, sejenis tumor kongenital yang dapat terbentuk sejak janin masih berada dalam kandungan.

Meski jarang terjadi, tumor ini bisa berkembang di berbagai bagian tubuh seperti ovarium, bokong, hingga mata bayi.

Teratoma berasal dari sel germinal, yaitu sel-sel embrionik yang seharusnya berkembang menjadi organ tubuh.

Namun, dalam kasus teratoma, sel-sel ini malah tumbuh secara tidak terkendali menjadi berbagai jenis jaringan yang tidak seharusnya berada di tempat tersebut.

Menurut Dokter Spesialis Bedah Anak, Dr dr Sulmiati SpBA SubspUA(K) AUFO-K, penyebab pasti teratoma belum diketahui secara jelas.

Namun, kelainan ini diduga terjadi pada minggu keempat perkembangan janin saat sel-sel tubuh mulai berkembang.

"Teratoma itu merupakan salah satu jenis tumor yang biasanya ditemukan pada bayi baru lahir, karena itu merupakan salah satu kelainan kongenital, ya, jadi bawaan sejak lahir," ujarnya.

"Jadi teratoma itu sebenarnya kejadiannya nggak terlalu banyak juga, kejadiannya sangat jarang, tapi itu bisa menimpa siapa saja ya," ujarnya saat ditemui di Poli Bedah Anak, Mother and Child Center, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, awal Maret 2025.


Siapa yang Berisiko?

Menurut penelitian dari Iranian Journal of Pediatric Surgery, teratoma lebih sering ditemukan di area sakrokoksigeal (tulang ekor), terutama pada bayi baru lahir.

Studi menunjukkan bahwa keterlambatan diagnosis bisa meningkatkan risiko keganasan tumor ini, terutama pada jenis teratoma tipe III dan IV menurut klasifikasi Altman, di mana tumor lebih sulit dideteksi melalui USG prenatal.

Salah satu faktor risiko utama dari tumor ini adalah kelainan perkembangan pada minggu keempat kehamilan, saat sel-sel mulai berkembang membentuk organ-organ tubuh.

Namun, hingga kini, penyebab pasti teratoma masih belum sepenuhnya dipahami oleh dunia medis.

Tumor teratoma terbagi menjadi dua kategori utama: jinak (mature teratoma) dan ganas (immature teratoma).

Tumor jinak umumnya tidak mengalami perkembangan agresif, tetapi tetap harus dipantau secara berkala untuk menghindari risiko pertumbuhan ulang atau komplikasi lainnya.

Sementara itu, teratoma ganas memiliki kemungkinan menyebar dan memerlukan penanganan lebih serius, seperti kemoterapi atau pembedahan lebih lanjut.

Menurut penelitian yang diterbitkan di Medical and Surgical Urology, pasien dengan teratoma ganas memiliki kemungkinan 39% mengalami kekambuhan, baik dalam bentuk tumor baru maupun perkembangan menjadi kanker sel germinal yang lebih agresif. Oleh karena itu, pengobatan dan pemantauan pascaoperasi menjadi sangat krusial.


Deteksi Dini Jadi Kunci

Bagi ibu hamil, deteksi dini tumor teratoma dapat dilakukan melalui USG prenatal. Studi menunjukkan bahwa pemeriksaan ini mampu mengidentifikasi adanya kelainan dalam rahim, sehingga tim medis dapat mempersiapkan prosedur penanganan yang tepat sejak dini.

Berdasarkan laporan penelitian di IP Journal of Paediatrics and Nursing Science, bayi yang telah menjalani operasi pengangkatan teratoma sakrokoksigeal menunjukkan pemulihan yang baik, dengan perawatan lanjutan berupa pemantauan kadar Alpha-Fetoprotein (AFP) sebagai penanda tumor.

Meskipun teratoma tergolong langka, perkembangan teknologi medis memberikan harapan baru bagi bayi yang mengidap kondisi ini.

Dengan adanya kemajuan dalam diagnosis prenatal, teknik bedah modern, serta terapi lanjutan, banyak bayi dengan teratoma dapat bertahan dan hidup sehat setelah menjalani perawatan yang tepat.

Sebagai langkah pencegahan, para ibu hamil disarankan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin, menjaga kesehatan selama masa kehamilan, serta berkonsultasi dengan dokter spesialis jika terdapat indikasi kelainan pada janin.

Dengan deteksi dini dan perawatan medis yang tepat, bayi yang lahir dengan tumor teratoma tetap memiliki kesempatan untuk menjalani kehidupan yang sehat dan normal. (*)


(Venny Septiani Semuel / Unhas TV)