News
Travel

Belajar dari Mazhab Frankfurt: Refleksi Kunjungan ke Institut für Sozialforschung




Hal ini mengingatkan saya pada Universitas Hasanuddin. Seperti IfS, Unhas juga perlu menumbuhkan pusat kajian interdisipliner yang mampu menjembatani berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, hukum, budaya, hingga ekologi.

Budaya diskusi kritis harus dirawat, bukan hanya lewat seminar dan forum formal, tetapi juga melalui percakapan terbuka antara mahasiswa dan dosen, tempat ide-ide baru bisa dipertemukan.

Selain itu, penting bagi Unhas untuk berfokus pada isu-isu lokal yang memiliki gema global. Politik sumber daya, ekologi Sulawesi, atau dinamika oligarki lokal, misalnya, bisa dikaji dengan kerangka teori yang lebih luas agar mampu menyumbang perspektif pada diskursus dunia.

Untuk itu, jejaring internasional mutlak diperluas. Seperti IfS yang bermitra dengan Columbia University, Unhas pun bisa membangun relasi akademik dengan IfS, Humboldt, atau kampus-kampus Skandinavia.

Namun yang paling mendasar adalah jaminan atas kebebasan akademik. Karya besar hanya lahir ketika para peneliti dan akademisi bisa menulis dan mengkritik tanpa rasa takut. Dukungan finansial dan ruang kebebasan menjadi fondasi bagi lahirnya pemikiran yang berani.

Penutup: Menuju Mazhab Makassar

Mazhab Frankfurt membuktikan bahwa sebuah kampus bisa melahirkan gagasan besar yang menggema ke seluruh dunia. Kuncinya ada pada ekosistem akademik yang interdisipliner, terbuka, dan kosmopolitan.

Dari kunjungan ke Frankfurt, saya belajar bahwa kekuatan akademik bukan sekadar soal peringkat universitas, melainkan kemampuan melahirkan ide-ide yang memberi makna universal.



Dengan sejarah panjang dan kekayaan lokalnya, Universitas Hasanuddin punya peluang besar menjadi pusat lahirnya sebuah Mazhab Makassar, mazhab yang berakar dari pengalaman Sulawesi, tapi berbicara dengan dunia.

Seperti yang pernah diingatkan Theodor W. Adorno, “Tujuan dari pemikiran kritis bukanlah sekadar menafsirkan dunia, melainkan membebaskan manusia dari penderitaan yang tidak perlu.”

Kutipan itu menjadi pengingat bahwa misi akademik sejati bukan hanya melahirkan teori, tetapi juga menghadirkan kebebasan dan kemanusiaan.

*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Ilmu Ekonomi Unhas