Internasional

Dari Fordow ke Hormuz: Jalan Balas Iran

oleh: Yusran Darmawan*

Di pagi yang belum sepenuhnya terang, dunia terbangun oleh notifikasi yang tak biasa. Sebuah unggahan dari akun Donald J. Trump, Presiden Amerika Serikat, menyebar seperti gelombang kejut.

“We have completed our very successful attack on the three Nuclear sites in Iran…” tulis Trump dalam nada bangga, disertai klaim tentang sukses serangan udara ke Fordow, Natanz, dan Esfahan—tiga situs nuklir utama milik Iran.

Semua pesawat telah keluar dari wilayah udara Iran, lanjutnya. Muatan penuh bom dijatuhkan ke Fordow, dan seluruh misi disebut “berhasil total.” Dengan gaya khasnya, Trump menutup pernyataan itu dengan seruan yang terdengar sarkastik di tengah bara: “NOW IS THE TIME FOR PEACE!”

Namun, di Teheran, tak ada tanda-tanda damai. Tidak ada isyarat menyerah. Bagi Iran, dan bagi kawasan yang telah lama hidup dalam bayang konflik, kedamaian kini terasa seperti paradoks getir.

Karena serangan ini bukan hanya soal fasilitas yang luluh lantak, melainkan soal martabat nasional yang diinjak. Dan bagi republik Islam yang telah bertahan sejak 1979 di bawah sanksi, sabotase, dan embargo, balas dendam adalah bagian dari harga diri yang tak boleh ditawar.

Di balik tembok-tembok sunyi Dewan Keamanan Nasional Iran, perdebatan besar diyakini sedang berlangsung. Ayatollah Ali Khamenei belum tampil di publik, namun diamnya bukan bentuk ketakberdayaan.

Dalam sejarah politik Iran, diam adalah bentuk perenungan, fase sunyi sebelum badai. Iran sedang memilih, bukan apakah mereka akan membalas, tetapi bagaimana, kapan, dan melalui siapa.

Perang langsung bukan pilihan rasional. Tetapi Iran memiliki ingatan panjang, jaringan luas, dan kesabaran yang teruji. Di Beirut, Baghdad, Sanaa, dan Gaza, sinyal perintah mungkin telah dikirim.

Milisi-milisi yang sejak lama menjelma sebagai “bayangan republik” itu bersiap memainkan perannya. Serangan bisa muncul dari mana saja. Di jalanan yang sudah mengenal debu dan darah, perang tak perlu diumumkan—ia hanya perlu dikabarkan.

Pilihan semacam ini merefleksikan pendekatan realist offensive dalam teori hubungan internasional, seperti yang diajukan John Mearsheimer. Dalam sistem internasional yang tanpa wasit, negara bertindak seolah-olah selalu dalam bahaya. Maka membalas adalah wujud bertahan hidup.

"Great powers are always searching for opportunities to gain power over their rivals," tulis Mearsheimer.

Tapi Iran bukan hanya pemilik senjata. Ia juga pemilik keheningan gelap yang bisa melumpuhkan. Unit-unit siber yang selama ini beroperasi di bawah radar bisa sewaktu-waktu melumpuhkan kota.

Listrik padam, bank membeku, jaringan satelit terganggu—semua terjadi tanpa bom, tapi dengan kode. Joseph Nye menyebutnya sebagai bentuk power yang baru: bukan kekuatan yang menghancurkan, tetapi kekuatan yang merayap dan mencabut fungsi-fungsi kehidupan modern.

Namun kartu terakhir Iran bisa jadi berada di ujung selatan: Selat Hormuz. Setiap hari, seperlima pasokan minyak global melewati jalur sempit ini. Dan jika Iran memutus jalur itu, dunia akan goyah.

Bukan karena serangan ke jantung militer, tetapi karena ia menahan napas ekonomi dunia. Dalam satu tindakan strategis, Iran bisa memaksa seluruh dunia menyaksikan: bahwa negara yang dipojokkan bisa mengguncang pusat.

Tentu, konsekuensinya berat. Jika Hormuz ditutup, armada tempur global akan bergerak. Tapi di sinilah esensi deterrence theory bekerja: tindakan ekstrem dipertontonkan bukan untuk menang, tapi untuk menghentikan pukulan berikutnya.


>> Baca Selanjutnya