
Namun Iran bukan hanya kekuatan yang terluka. Ia juga memori yang panjang. Di tengah reruntuhan, diplomasi masih hidup. Menlu Iran telah melakukan diplomasi maraton, dari Moskow ke Beijing, dari Ankara ke Pretoria.
Iran sedang membangun narasi tandingan: bahwa mereka bukan penjahat, melainkan korban dari pengingkaran hukum internasional.
Inilah sisi lain dari strategi geopolitik Iran yang selaras dengan constructivism Alexander Wendt: dunia bukan hanya dipetakan oleh senjata, tapi juga oleh makna. Identitas membentuk tindakan. Persepsi membentuk aliansi. Ketika Barat menyebutnya ancaman, Iran ingin disebut sebagai perlawanan.
Tetapi satu hal harus ditegaskan: sejak awal, ini bukan semata konflik antara Iran dan Amerika Serikat. Ini adalah perpanjangan dari perseteruan panjang antara Iran dan Israel.
Sejak lama, Israel menggambarkan Iran sebagai ancaman eksistensial. Mulai dari program nuklir, dukungan ke Hizbullah, hingga pengaruhnya di Suriah—semua menjadi dalih. Dan ketika ketegangan memuncak, Israel mendorong Washington untuk bertindak.
Seperti seorang ponakan yang merengek kepada pamannya agar turun tangan membawa tongkat besi. Maka bom dijatuhkan bukan atas nama prinsip, tapi atas nama tekanan. Lobi menggantikan diplomasi. Dan darah mengalir di balik strategi.
Dalam situasi seperti ini, teori security dilemma menjadi nyata: satu pihak menyerang atas nama keamanan, pihak lain merasa terancam dan membalas, lalu spiral kekerasan menjadi tak terhindarkan.
Sementara dunia memantau dari layar, dari analisis TV, dari hashtag yang saling menyeret, ada sesuatu yang lebih sunyi di jalan-jalan Teheran: ketidakpastian. Di masjid-masjid kecil, di ruang ICU, di warung teh di tepi bazar—orang-orang hanya bisa menunggu.
Entah esok akan datang dengan sirene atau senyap. Di tengah ketegangan itu, kalimat Trump “NOW IS THE TIME FOR PEACE” terdengar seperti sindiran pahit. Sebab perdamaian tak lahir dari dentuman.
Dan di saat seperti itu, mungkin hanya puisi yang bisa menjelaskan luka yang tak bisa dibahasakan oleh politik dan militer. Seperti bait dari Hafez, penyair abadi dari Syiraz: “I have learned to love the darkness of sorrow, For it leads me to the light of understanding.”
“Aku telah belajar mencintai gelapnya duka. Karena darinya aku dipimpin menuju cahaya pemahaman.”
Iran memahami kesedihan. Ia lahir darinya, hidup bersamanya, dan tumbuh di dalamnya. Tapi dari kegelapan itu pula, mereka telah belajar: untuk menunggu, untuk bertahan, dan untuk membalas—dengan caranya sendiri.
*Penulis adalah blogger, peneliti dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.