Oleh: Yusran Darmawan*
AWAN hitam menggantung di langit Teheran. Syair sedih dilantunkan dari berbagai penjuru. Di Jakarta, sejumlah orang menyampaikan duka melalui serangkaian bunga. Di Moskow, Vladimir Putin berduka karena kehilangan sahabat. Juga di Beijing, Xi Jinping merasakan hal yang sama.
Ebrahim Raisi bukan sekadar presiden dari republik yang lahir dari revolusi. Tiga tahun silam, saat dirinya menjabat, banyak orang Iran meyakini itu hanya batu loncatan untuk posisi yang lebih agung. Dia disebut akan menggantikan posisi Ayatullah Khamenei sebagai pemimpin tertinggi.
Namun sejarah punya takdir berbeda. Raisi lebih dahulu terbang ke haribaan Yang Maha Menggenggam, lebih dulu dari Ayatullah Khamenei yang kian sepuh.
Di tanggal 19 Mei 2024, Raisi baru saja kembali dari kunjungan ke Azerbaijan, di mana dia meresmikan bendungan di perbatasan. Pihak berwenang kehilangan kontak dengan helikopternya di wilayah pegunungan sekitar 86 km timur laut Tabriz.
Pada awalnya, pemerintah Iran bersikeras bahwa tidak ada alasan untuk khawatir. Helikopter presiden telah melakukan hard landing. Yang membingungkan, beberapa kantor berita Iran melaporkan bahwa ia melanjutkan perjalanan ke Tabriz dengan mobil.
Tampaknya masyarakat Iran ingin mempercayai keajaiban. Puluhan ribu warga turun ke jalan-jalan pusat dan alun-alun kota, mengadakan acara doa untuk kesejahteraan presiden. Namun keajaiban tidak terjadi.
Dini hari tanggal 20 Mei, tim penyelamat menemukan lokasi jatuhnya helikopter, yang telah terbakar habis, hanya menyisakan abu. Media pemerintah mengonfirmasi bahwa Raisi tewas, bersama Menteri Luar Negeri, Hossein Amirabdollahian, yang bepergian dengan helikopter yang sama.
>> Baca Selanjutnya