MAKASSAR, UNHAS.TV – Di sebuah goa sunyi bernama Liang Panninge, Maros, Sulawesi Selatan, sejarah manusia purba terkuak dari kerangka seorang gadis muda.
Ia kemudian diberi nama Besse —nama panggilan khas Bugis untuk anak perempuan. Tapi, Besse bukan sekadar temuan arkeologi biasa. Ia menyimpan cerita panjang tentang migrasi manusia dan jejak genetika purba dari ribuan tahun silam.
Temuan ini bermula dari riset yang dipimpin Prof Dr Akin Duli MA, Guru Besar Arkeologi Universitas Hasanuddin. Menurutnya, Liang Panninge dipilih karena kondisi lingkungan yang sangat mendukung penelitian jangka panjang. Goa ini bersih, tidak terkena banjir, punya ventilasi alami, dan sedimentasinya (lapisan tanahnya) masih utuh.
"Kondisi goa yang stabil jadi alasan kuat kami melakukan ekskavasi lanjutan. Itu penting agar data arkeologis, termasuk sisa-sisa kehidupan manusia, tidak rusak dan tetap bisa diteliti secara ilmiah," jelas Prof Akin.
Ekskavasi dilakukan secara hati-hati. Pada kedalaman sekitar dua meter dari permukaan tanah, tim menemukan kerangka manusia dengan posisi meringkuk. Posisi jasad itu menunjukkan ia dimakamkan dengan cara yang sangat teratur dan penuh perhatian—tanda adanya perlakuan khusus sejak masa lampau.
Kerangka tersebut lalu diberi nama Besse, yang dalam budaya Bugis adalah sapaan untuk anak perempuan yang belum diberi nama resmi. "Kami memilih nama itu sebagai harapan. Dalam budaya kami, Besse punya makna kuat—perempuan yang besar, yang membawa keberkahan," ungkap Prof Akin.
Yang membuat penemuan ini semakin menarik adalah hasil analisis genetik. Besse terbukti membawa DNA Denisovan, ras manusia purba yang sebelumnya hanya ditemukan di Siberia dan Tibet.
Fakta ini langsung menjadi temuan besar karena menunjukkan bahwa leluhur manusia di Sulawesi pernah berinteraksi dengan kelompok purba dari Asia Utara.
"Penemuan ini mengubah pemahaman kita soal jalur migrasi manusia. Bahwa Sulawesi ternyata ikut menjadi bagian dari jejak panjang perjalanan manusia dari masa ke masa," lanjutnya.
Usia Besse diperkirakan mencapai 7.200 tahun, menjadikannya salah satu Homo sapiens tertua di kawasan Wallacea yang jejak DNA-nya masih bisa ditelusuri. Liang Panninge sendiri berarti “goa kelelawar” dalam bahasa setempat, terletak tak jauh dari jalan desa di Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros.
Penemuan ini tak hanya membuka wawasan soal masa lalu, tapi juga menjadi pengingat betapa pentingnya menjaga situs-situs bersejarah. Di kawasan karst Maros-Pangkep, tersebar ratusan goa lain yang mungkin menyimpan cerita serupa—menanti untuk digali, diteliti, dan diungkap kepada dunia.
"Ini bukan sekadar soal fosil. Kita sedang mencari tahu siapa kita, dari mana leluhur kita berasal, dan bagaimana budaya Sulawesi terbentuk ribuan tahun lalu. Semua itu butuh dukungan, baik dari pemerintah, akademisi, maupun masyarakat luas," tegas Prof Akin.
Temuan ini menempatkan Sulawesi dalam peta penting ilmu pengetahuan dunia. Dari Liang Panninge, kita tidak hanya menemukan kerangka, tetapi juga sepotong sejarah yang menghubungkan manusia modern dengan dunia purba.(*)
Andi Putri Najwah (Unhas TV)