Budaya
News
Travel

Chega!: Luka yang Disulap Menjadi Cahaya di Kota Dili



Mereka melobi pemerintah asing, mengetuk pintu organisasi internasional, dan terus mengirimkan laporan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di tanah kelahiran mereka. Di New York, di markas PBB, suara-suara itu perlahan mendapat tempat, hingga dunia menoleh ke arah sebuah pulau kecil di ujung timur Nusantara.

Semua jejak itu berpuncak pada tahun 1999, ketika referendum digelar di bawah pengawasan internasional. Lebih dari 78 persen rakyat memilih merdeka, meski pilihan itu dibayar mahal dengan kekerasan massal yang meletus setelahnya. Ribuan orang tewas, puluhan ribu rumah dibakar, infrastruktur hancur. Namun sejarah tidak lagi bisa diputar balik.

Dari penderitaan itu, lahirlah sebuah bangsa baru. Tiga tahun kemudian, pada 20 Mei 2002, Republik Demokratik Timor Leste berdiri dan dikibarkan benderanya sendiri.

Di ruang-ruang Museum Chega, momen itu dipresentasikan bukan sekadar sebagai hasil perjuangan politik, tetapi sebagai bukti keteguhan hati rakyat yang menolak tunduk pada penindasan.

Pendidikan dan Rekonsiliasi

Lebih dari sekadar museum, Chega! berfungsi sebagai laboratorium rekonsiliasi. Di sini tersimpan laporan monumental Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR), hasil ribuan testimoni korban, keluarga, hingga pelaku. Pesan utamanya jelas: mengakui kesalahan masa lalu adalah syarat agar bangsa bisa bergerak maju.

Sore itu, saya melihat sekelompok pelajar mendengarkan pemandu yang bercerita tentang ratusan ribu korban konflik dan kelaparan. Wajah-wajah muda itu tegang, sebagian menunduk, sebagian mencatat. Ada kesadaran tumbuh bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin untuk masa depan.

Kehadiran Museum Chega! menegaskan bahwa bangsa muda ini tidak menutupi luka, melainkan menatanya menjadi ingatan kolektif. Ia juga mengirimkan pesan moral bagi dunia: kekerasan negara terhadap rakyatnya bisa saja berulang, kecuali jika sejarah dihadirkan, dibicarakan, dan dipelajari.

Bagi Indonesia, Chega! adalah ruang refleksi. Ia mengingatkan betapa dekatnya hubungan dua bangsa ini, sekaligus betapa rapuhnya ikatan ketika kuasa menindas hak asasi. Kini, relasi kedua negara dibangun dengan semangat persaudaraan, namun bayang-bayang sejarah tetap hadir sebagai pengingat.

Di luar museum, senja menyelimuti langit Dili. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan, seakan menepis getir yang tertinggal di balik tembok Balide. Museum Chega! berdiri sebagai saksi bahwa luka bisa dirawat, memori kelam bisa diubah menjadi cahaya, dan sebuah bangsa memilih melangkah ke depan dengan kepala tegak.

Maria menoleh ke arah saya, wajahnya memantulkan cahaya oranye senja. Cantik, dengan senyum yang tenang. “Agora ita baa haree Cristo Rei,” katanya lembut, sekarang mari kita pergi melihat Cristo Rei. 

Ajakan itu seperti penutup sempurna dari perjalanan hari itu, menatap patung Kristus yang berdiri di ujung tanjung, seolah mengawasi Dili yang perlahan belajar berdamai dengan masa lalu, dan menatap masa depan dengan harapan.

Saya tersenyum, lalu membisikkan kalimat sederhana: “Obrigadu Maria. O ita diak hanesan Dili.” Terima kasih, Maria. Kamu secantik Dili.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.