Oleh: Yusran Darmawan*
Suara ombak dari Teluk Ambon menyatu dengan bunyi martil dari bengkel pandai besi di pesisir Lateri. Dari kejauhan, suara itu terdengar seperti tabuhan gamelan laut, irama logam dan ombak yang berpadu dalam ritme yang telah berlangsung turun-temurun.
Di bawah terik matahari yang menembus atap seng berkarat, seorang lelaki tua berdiri tegap di depan tungku sederhana. Tangannya cekatan memegang penjepit besi membara, memukulnya di atas landasan baja hingga menimbulkan percikan api kecil yang beterbangan ke udara.
“Dulu nenek moyang kami datang dari Binongko,” katanya tanpa berhenti menempa. Keringat menetes dari pelipisnya, bercampur jelaga dan debu besi. “Orang sini memanggil kami orang Buton.”
Ia tersenyum samar, seolah kalimat itu adalah doa yang sudah ia ucapkan ratusan kali. Di sudut bengkel, beberapa anak muda memperhatikan dengan saksama, belajar dari gerak tangannya, dari denting logam yang memahat kesabaran.
Pandai besi tua itu bukan sekadar pekerja, tapi pewaris tradisi yang pernah menjadikan Binongko dijuluki negeri pandai besi. Dari sinilah, dari panas tungku dan dingin ombak, identitas Buton ditempa dan disebarkan ke seantero Nusantara.
Di sinilah, di pinggir kota Ambon yang hiruk pikuk, napas diaspora Buton berdenyut pelan tapi pasti. Mereka datang berabad silam, sebagian dari Kepulauan Tukang Besi, gugusan pulau yang kini dikenal sebagai Wakatobi, terutama dari Binongko, negeri kecil di selatan Buton yang di masa kesultanan telah dikenal karena dua hal: ketangguhan berlayar dan kepiawaian menempa besi.
Orang Binongko bisa membaca arah angin seperti membaca doa, mengenali riak laut seperti mengenali wajah sendiri. Di tangan mereka, besi yang dingin berubah menjadi alat kerja, senjata, dan simbol harga diri.
Dalam buku Sejarah dan Diaspora Buton dalam Diaspora Nusantara yang disunting Prof. Susanto Zuhdi, sejarawan Universitas Undonesia, disebutkan kalau mereka datang ke Ambon bukan sebagai penakluk, melainkan pembawa keterampilan dan etos kerja.
Dalam catatan para pelaut Belanda abad ke-18, orang Buton, terutama dari Binongko, sering menumpangi kapal niaga menuju Maluku, membawa parang, paku, dan alat besi buatan tangan mereka.
Sebagian menetap, sebagian kembali. Yang menetap, mendirikan bengkel dan rumah panggung di tepi teluk. Di antara suara azan dan lonceng gereja yang bersahutan, mereka membangun kehidupan baru yang memadukan keyakinan lama dan kebiasaan baru.
Hari ini, di Lateri, Passo, dan Air Salobar, sisa-sisa warisan itu masih terasa. Bau arang, suara besi, dan logat khas Buton yang kadang menyelip di antara bahasa Ambon sehari-hari menjadi penanda betapa panjang perjalanan diaspora itu. “Kami datang dari laut,” kata lelaki tua itu lirih, “dan laut pula yang membuat kami tetap di sini.”
Rantau dan Perahu: Warisan Laut Buton
Bagi orang Binongko, laut bukan batas, melainkan jembatan menuju takdir. Mereka mengenal laut seperti petani mengenal tanah, memahami musim, arah angin, dan arus yang membawa rezeki.
Di masa lalu, para leluhur mereka berangkat dari pelabuhan kecil di Wakatobi dengan perahu soppe berlayar layar putih, membawa besi, parang, dan alat pertanian hasil tempa tangan. Laut Banda dan Laut Seram bukan wilayah asing bagi mereka, melainkan halaman rumah yang luas.
Mereka singgah dari pulau ke pulau, memperbaiki perahu di pantai, lalu berdagang di pasar-pasar kecil di Ambon, Haruku, dan Saparua. Di mana perahu mereka berlabuh, di situ mereka membangun kehidupan. Lama-kelamaan, muncul kampung-kampung kecil yang dihuni keluarga Buton, komunitas perantau yang hidup dari laut namun berakar pada tanah keislaman yang kuat.
Keahlian mereka menempa besi menjelma modal sosial. Parang dan alat kerja buatan tangan mereka bukan sekadar komoditas dagang, tetapi simbol keandalan dan integritas.
Dalam masyarakat Maluku, parang bukan hanya alat memotong kayu, tapi juga lambang kehormatan. Orang Binongko memahami makna itu. Mereka membuat parang bukan hanya untuk dijual, tetapi juga untuk menjaga hubungan sosial, hadiah bagi tuan tanah, mahar pernikahan, atau tanda persaudaraan baru.
Dari besi panas yang mereka tempa, lahir ikatan-ikatan sosial yang melampaui garis etnis dan agama.
Perlahan, orang Buton diterima di Ambon bukan sebagai pendatang, melainkan sebagai bagian dari denyut nadi kota pelabuhan. Mereka ikut dalam aktivitas ekonomi, berdagang di pasar Mardika, menjadi nelayan di Teluk Ambon, dan menyuplai alat pertanian bagi penduduk di pulau-pulau sekitarnya.
Sebagian menjadi guru ngaji dan imam di masjid kecil yang mereka bangun di pinggir laut. Sebagian lagi menikah dengan perempuan setempat, melahirkan generasi yang fasih berbahasa Ambon, namun tetap menyebut diri “orang Buton.”
Perdagangan Muson dan Jejaring Laut
Setiap musim angin barat, perahu-perahu Buton berangkat menuju Ambon dan Seram. Mereka mengikuti angin, bukan peta.
Kapal-kapal kecil dari Wakatobi membawa barang dagangan dari Jawa, beras, kain, dan kebutuhan rumah tangga, lalu menukar dengan kopra, pala, dan cengkeh yang dipanen petani setempat. Jaringan perdagangan ini membentuk ekonomi pesisir yang berdenyut mengikuti siklus angin muson.