Budaya
News

Jejak Binongko di Ambon: Diaspora Buton di Maluku



Pasar Mardika di Ambon. Banyak orang Buton menjadi pedagang di pasar ini


Beberapa di antara mereka berperan sebagai pedagang utama yang memiliki modal untuk membeli kopra secara tunai. Sebagian lain menjadi pengangkut, menawarkan jasa frak atau pengiriman barang dengan sistem sewa perahu. Semua hasil dibagi setelah musim pelayaran berakhir.

Di setiap perjalanan, kerja sama antara pelaut Buton dan petani Maluku tumbuh menjadi kemitraan yang unik, diikat oleh rasa saling percaya dan gotong royong.

Bahasa Cia-Cia, yang dituturkan sebagian orang Buton dan Seram Barat, memperlancar komunikasi. Di pasar pesisir, tawar-menawar sering berlangsung dalam bahasa yang sama, memperkuat rasa kekerabatan yang tumbuh di antara mereka.

Pada awal abad ke-20, orang Buton mulai membangun permukiman tetap di Ambon. Mereka menempati kawasan Pasar Lama, Batu Merah, hingga Passo, dan menamai kampung-kampung itu sesuai asal mereka, seperti Kampung Tomia dan Kampung Binongko.

Di pasar, mereka berdagang rempah dan kebutuhan rumah tangga, di pelabuhan mereka bekerja membongkar muatan kapal layar. Setelah tahun 1980-an, sebagian menjadi pengusaha besi bekas, memperlihatkan kemampuan luar biasa beradaptasi terhadap dinamika ekonomi kota.

Penutup: Laut yang Menyatukan

“Sejarah Buton adalah sejarah yang kental dengan etos kebaharian,” ujar Prof. Susanto Zuhdi, sejarawan Universitas Indonesia yang meneliti jejak diaspora ini selama lebih dari dua dekade.

“Etos itu tidak hanya terlihat pada eksistensi Kesultanan Buton yang bercorak bahari, tetapi juga pada keberlanjutan pelayaran dan penyebaran masyarakatnya ke berbagai penjuru Nusantara.”

Menurut Zuhdi, orang Buton adalah salah satu dari enam suku bahari Indonesia, bersama Bugis, Makassar, Mandar, Madura, dan Bajau, yang berperan penting dalam proses integrasi bangsa lewat budaya laut. Buton bukan sekadar pulau, tetapi peradaban maritim yang tumbuh dari laut dan menyatu dengan gelombang perantauan.

Sejak disebut dalam Negarakertagama abad ke-14, Buton telah menjadi simpul dalam jaringan maritim Nusantara, jembatan antara barat dan timur, utara dan selatan. Orang-orangnya menyebar bukan karena terdesak, tetapi karena terpanggil oleh laut yang membuka cakrawala.

“Melalui aktivitas pelayaran, orang Buton tidak hanya mencari kehidupan, tetapi juga membangun jembatan budaya dan ekonomi antarwilayah,” kata Zuhdi. “Mereka inilah manusia laut yang mengikat kepulauan Indonesia menjadi satu.”

Maka kisah diaspora Buton di Maluku bukan sekadar kisah migrasi, melainkan kisah tentang manusia laut yang menjahit kepulauan Indonesia dengan layar dan kepercayaan.

Di Lateri, denting martil yang berpadu dengan debur ombak itu seolah masih berkata: selama laut tetap bergelombang, selama besi masih bisa ditempa, orang Buton akan terus hidup, menjaga jejaknya di antara arus sejarah Nusantara.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, jawa Barat.