Saintek

Coelacanth: Legenda Purba di Laut Dalam Maluku




Menariknya, ikan itu tidak bersembunyi di gua atau celah batu, seperti yang biasa dicatat dalam observasi sebelumnya. Ia tenang dan tak tergesa, seolah menyadari kehadiran manusia tapi enggan bereaksi.

Foto-foto diambil cepat sebelum waktu menyelam memaksa mereka naik ke permukaan. Keesokan harinya, pada pukul 09.45, keduanya kembali ke lokasi. Dan lagi-lagi, coelacanth yang sama muncul—dapat dikenali dari pola bintik putih unik di tubuhnya. Ini bukan kebetulan. Ini penegasan.

Para peneliti memutuskan untuk merahasiakan lokasi pasti penemuan. Coelacanth adalah spesies yang amat rentan: ia tumbuh lambat, dewasa seksual dalam waktu puluhan tahun, dan hanya melahirkan sedikit anak sepanjang hidupnya.

Gangguan sekecil apapun—termasuk dari penyelaman atau wisata ekstrem—bisa berdampak besar. “Mereka bisa hidup lebih dari seratus tahun,” tulis tim peneliti dalam makalah tersebut, “tapi hanya melahirkan beberapa anak dalam satu dekade.”

Maka, temuan ini bukan undangan untuk eksplorasi massal, melainkan peringatan agar kita menjaga, bukan mengeksploitasi.

Hingga kini, coelacanth Indonesia hanya tercatat di Sulawesi Utara dan Papua Barat. Maluku, yang terletak di antara keduanya, belum pernah disebut dalam peta persebarannya.

Temuan baru ini membuka kemungkinan: apakah ada populasi tersembunyi di laut dalam Maluku? Apakah ini jalur migrasi? Atau bahkan—apakah ini subspesies yang berbeda?

Tim peneliti kini menyiapkan metode non-invasif sebagai langkah lanjut dari temuan ini—bukan dengan menangkap atau menyakiti, tetapi dengan menyentuh secara ilmiah dan hati-hati.

Salah satu pendekatan yang mereka rancang adalah pengambilan sampel DNA lingkungan (eDNA), yakni melacak jejak genetik yang ditinggalkan coelacanth di air melalui lendir, sisik, atau sisa biologis lain.

Metode ini memungkinkan peneliti mengidentifikasi spesies tanpa harus menangkapnya—sebuah teknik revolusioner dalam studi biologi laut dalam.

Selain itu, mereka juga tengah merancang pelacakan pergerakan individu melalui pemantauan visual atau penggunaan alat penanda khusus yang tidak merusak tubuh hewan.

Dengan cara ini, peneliti dapat memetakan jalur renang, pola migrasi, dan kedalaman favorit yang dihuni coelacanth—data penting untuk memahami perilaku alami spesies yang selama ini lebih banyak dikenal dari museum ketimbang laut terbuka.

Tujuannya sederhana tapi mendesak: memahami sebelum terlambat. Sebelum habitatnya rusak, sebelum spesies ini punah tanpa pernah benar-benar dikenal.

Sebab tak ada upaya konservasi yang sungguh-sungguh tanpa pengetahuan yang cukup, dan tak ada waktu yang lebih baik untuk belajar daripada sekarang—saat satu individu purba itu masih mengambang di laut kita, memberi kita kesempatan kedua untuk mendengar kisahnya.

Di tengah krisis global keanekaragaman hayati, laut Indonesia masih menyimpan kejutan. Coelacanth bukan hanya makhluk purba; ia adalah simbol dari dunia yang belum kita pahami sepenuhnya.

Ia mengingatkan bahwa bumi belum selesai bercerita. Bahwa di kedalaman, di tempat yang tak dijamah cahaya, ada kehidupan yang menunggu untuk dihormati, bukan dikunjungi gegabah.

Sebagaimana ditulis oleh Chappuis dan koleganya dalam publikasi mereka:

“Kami berharap penemuan ini mendorong otoritas lokal dan nasional untuk memperkuat konservasi di kawasan ini — yang kini terbukti menjadi rumah salah satu spesies laut paling ikonik dan langka di dunia.”