Opini
Polhum

Dahlan Iskan dan Luka yang Tak Ditulis Sejarah



Ia harus menjawab pertanyaan tentang urusan administratif dua dekade silam. Bukan sebagai tokoh yang dikenang, tapi sebagai saksi yang dicurigai.

Lebih menyakitkan lagi: laporan itu datang dari dalam rumah sendiri. Dari tangan manajemen baru yang disebutnya tak pernah melihat peluh yang menetes, tak pernah tahu malam-malam panjang yang ia habiskan untuk menyelamatkan perusahaan dari krisis, dan tak pernah ikut dalam masa-masa ketika Jawa Pos adalah kapal yang nyaris karam.

Ironi ini seperti ditusuk dari belakang, oleh seseorang yang menikmati rumah yang telah berdiri, tapi lupa siapa yang mengangkat batu pertamanya.

Filsuf Friedrich Nietzsche pernah menulis, “No one is so much a liar as the indignant man.” Tak ada yang lebih sering memutarbalikkan kenyataan daripada orang yang merasa paling benar. 

Dalam logika kekuasaan dan kepemilikan yang terus bergeser, sering kali orang yang datang belakangan merasa berhak menilai dan menghukum masa lalu yang tidak mereka pahami. Dan itu yang sedang dialami Dahlan hari ini: vonis moral dari orang yang tak tahu sejarah, tapi berani mengadili.

Kisah Dahlan mengingatkan kita pada drama-drama Yunani klasik, di mana pahlawan besar yang membangun dunia dengan darah dan pengorbanan, justru dijatuhkan oleh kekuasaan yang lahir dari lupa.

Seperti Oedipus yang akhirnya dibutakan oleh kebenaran masa lalu, atau Agamemnon yang pulang dari perang dan dibunuh oleh keluarganya sendiri, tragedi tidak lahir dari kejahatan, tapi dari ironi sejarah dan nasib yang tak bisa ditawar.

Dahlan, dalam kisah ini, adalah tokoh yang dikhianati oleh rumah yang ia bangun sendiri, dan dalam diam, ia sedang menjalani takdir yang terlalu akrab dengan kata luka.

Dahlan tak pernah meminta imbalan. Tapi barangkali, seperti yang sering ia tulis dalam catatan harian, ia hanya berharap sejarah bersikap adil. Bahwa kerja keras yang tak pernah ditulis dalam laporan keuangan, dedikasi yang tak bisa diukur dengan presentase saham, dan cinta yang tak dicatat dalam akta notaris, semuanya tetap punya tempat di benak orang-orang yang jujur.

Sebab jika tidak, kita tak hanya kehilangan sosok seperti Dahlan, kita juga kehilangan nilai paling mendasar dalam membangun peradaban: penghargaan atas pengorbanan.

Dan barangkali, meski api itu kini tengah ditiup angin fitnah dan sengketa, kita tahu: nyala Dahlan Iskan tak akan padam semudah itu. Sebab ada ribuan orang di penjuru negeri yang pernah menerima cahayanya, baik dalam bentuk media yang tercerahkan, etos kerja yang menular, atau keberanian untuk bermimpi melampaui batas.

Namun kisah ini bukan hanya tentang Dahlan. Ini adalah cermin tentang bagaimana bangsa ini memperlakukan mereka yang pernah berkorban. Tentang bagaimana kita mudah lupa pada peluh yang tak tercatat, dan cepat menghukum atas sesuatu yang tak kita pahami sepenuhnya.

Di sinilah tragedi itu menjelma: bukan pada jatuhnya seorang tokoh, tapi pada rapuhnya ingatan kolektif kita sebagai masyarakat.

Selebihnya, biarlah waktu dan sejarah yang menilai. Sebab sebagaimana yang ditulis Sophocles dalam Antigone, “There is no pain so great as being forgotten by the country you once died for.” Tidak ada luka yang lebih pedih daripada dilupakan oleh negeri yang pernah kau bela dengan seluruh hidupmu.

Bukan cuma negeri, tapi juga perusahaan.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat,