Oleh: Syamsir Nadjamuddin, S. Ag
(ASN Kemenag Maros)
"Dalam fitrah kita masing-masing ada ratusan babi.
Kalau kalian tak mengetahui perihal babi-babi kalian sendiri, maka kalian tak akan pernah mengenal jalan cinta".
(Fariduddin Attar)
Bulan Zulhijjah dikenal sebagai waktu yang sarat dengan ibadah ritual, terutama haji dan penyembelihan hewan qurban. Namun, dalam perspektif tasawuf, momentum ini lebih dari sekadar ritual lahiriah. Ia adalah panggilan batin untuk menyembelih "binatang diri" — simbol dari hawa nafsu, ego, dan keakuan yang menjadi hijab antara hamba dan Tuhannya. Artikel ini menggali makna sufistik bulan Zulhijjah sebagai ruang spiritual untuk melakukan penyembelihan batin demi mencapai makrifatullah.
Zulhijjah dan Spirit Qurban
Zulhijjah adalah bulan ke-12 dalam kalender Hijriyah yang mengandung berbagai momentum agung: wukuf di Arafah, Idul Adha, dan ibadah qurban. Secara lahiriah, umat Islam menyembelih hewan sebagai bentuk ketaatan dan simbol pengorbanan. Namun, dalam kacamata tasawuf, penyembelihan hewan adalah simbol dari penyembelihan sifat kebinatangan dalam diri manusia. Dalam kata lain, hewan itu bukan hanya kambing atau sapi, melainkan juga sifat amarah, syahwat, riya, ujub, dan segala bentuk kesombongan diri.
Syekh Abdul Qadir al-Jilani pernah mengatakan, “Jangan engkau sibuk menyembelih kambing, sementara hatimu masih menyembah dirimu sendiri.” Ini menunjukkan bahwa makna terdalam dari qurban adalah penyembelihan ego (nafsu ammarah), bukan sekadar hewan ternak.
Makna "Binatang Diri" dalam Tasawuf
Dalam ajaran tasawuf, manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan ruhani, tetapi juga memiliki anasir nafsu yang berlapis-lapis. Ibnu Arabi membagi nafsu ke dalam beberapa tingkatan, dari nafs al-ammarah bis-su' (nafsu yang memerintah kepada keburukan) hingga nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). "Binatang diri" adalah simbol dari lapisan nafsu yang masih dikendalikan oleh dorongan duniawi dan egoistik.
Salah satu tujuan spiritual dalam tasawuf adalah tazkiyatun nafs, yaitu pensucian jiwa, yang dalam praktiknya berarti "menyembelih" sifat-sifat binatangiah tersebut. Setiap sifat buruk adalah rintangan menuju penyatuan eksistensial dengan Ilahi. Karenanya, momentum Zulhijjah merupakan kesempatan emas untuk menyaksikan dan menyembelih sisi gelap itu.

Dari pengorbanan Ibrahim dan Ismail, kita belajar: iman yang sejati tumbuh dari keikhlasan dan ketundukan tanpa syarat. Kredit: المدن
Meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail Secara Batin
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya sejarah pengorbanan, tapi simbol pengabdian mutlak kepada Allah. Dalam tafsir batin, Ibrahim adalah lambang akal atau ruh yang telah tercerahkan, sedangkan Ismail adalah representasi dari ego yang dicintai. Ketika Ibrahim diperintahkan untuk "menyembelih Ismail", itu artinya Allah meminta Ibrahim untuk mengorbankan keterikatan kepada dunia — termasuk ego dan keakuan yang paling dicintai.
Dalam praktik sufistik, kisah ini menjadi simbol perjalanan fana (peleburan ego) dan baqa (kekekalan dalam Tuhan). Seseorang yang mampu menyembelih "Ismail" dalam dirinya telah memulai jalan menuju makrifatullah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hallaj: "Tiada aku, yang ada hanya Dia."
Zulhijjah sebagai Mihrab Pembersihan Diri
Momentum Zulhijjah membawa pesan universal tentang transformasi batin. Bagi kaum sufi, ini bukan hanya bulan perayaan, melainkan mihrab atau tempat sujud dalam batin untuk melawan dan menyembelih segala belenggu yang menjauhkan dari cinta Tuhan.
Berpuasa di hari Arafah, berzikir di hari-hari tasyrik, dan menyaksikan darah qurban mengalir adalah lambang dari perjuangan melawan "aku". Ia adalah jihad akbar yang sesungguhnya: bukan melawan musuh luar, melainkan musuh dalam berupa nafsu dan hawa dunia.
Sebagaimana dikatakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah: “Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena ingin surga, haramkan surga bagiku. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka jangan palingkan wajah-Mu dariku.”
Penutup: Menyembelih Diri, Mendekat kepada Ilahi
Menyembelih binatang diri adalah perjalanan spiritual yang berat, namun penuh cahaya. Ia tidak bisa diselesaikan dalam satu hari Idul Adha, tetapi harus dijadikan jalan seumur hidup. Setiap tahun, ketika Zulhijjah tiba, kaum sufi memandangnya bukan sebagai ritual tahunan belaka, melainkan sebagai panggilan Tuhan untuk melanjutkan pembersihan hati dan peleburan ego.
Qurban sejati adalah ketika manusia tidak lagi menyembah dirinya, hartanya, atau ambisinya, tetapi hanya tunduk pada kehendak Sang Kekasih Sejati. Dan ketika darah ego itu mengalir di altar batin, maka terbukalah jalan menuju cinta yang hakiki: cinta yang tak bersyarat, cinta kepada Allah.