Oleh: Yadi Mulyadi*
Angin dari sela-sela gua meniup bau tanah basah dan kelelawar yang menyelinap lewat langit senja. Di balik semak karst dan batu berlumut, sesuatu tergerak—bukan raga, tapi ingatan yang lama dibiarkan sendiri. Ia telah tinggal di sana sejak bintang-bintang di langit pertama kali dikenali sebagai petunjuk. Namanya tidak tercatat dalam buku sejarah, dan wajahnya tak pernah terpahat di batu prasasti. Namun, jejak tangannya tetap membara di dinding Leang—lukisan babi rusa dan garis tangan anak sulungnya yang ia tiupkan dari pigmen merah tanah laterit.
Orang-orang kini menyebutnya “manusia prasejarah”, seolah hidupnya hanyalah halaman kosong sebelum sejarah dimulai. Mereka menyebut masa hidupnya “pra”—belum cukup modern, belum menulis, belum membentuk negara. Ia hanya bisa tersenyum, getir, di antara cekungan batu yang dulu ia sebut rumah. Bahkan ada yang menyebutnya ‘primitif’. Apakah sejarah itu hanya dimulai ketika pena bertemu perkamen?
Suatu hari, ia melihat arkeolog muda datang, mengenakan rompi lapangan, berjalan membawa pemindai LIDAR dan tablet digital. Tatapannya cermat, tangannya menyisir tanah, mencatat setiap lapisan sedimen. Sang penunggu memperhatikannya dari balik bayangan.
“Apa yang kau cari?” bisiknya dalam batin, lembut seperti desir.
“Sisa budaya, alat batu, pigmen merah,” jawab si arkeolog, walau suara itu tidak pernah ia dengar. Ia menyalakan pemindai, mengukur detak usia gua lewat isotop dan mikroskop elektron.
“Tak kau tanyakan kenapa aku tinggal di sini?” gumam sang penunggu.
Di sisi dinding, sang arkeolog menyentuh sebuah pola tangan yang samar. Ia menatapnya dalam, lalu menulis: “Cap tangan manusia diperkirakan berusia 45.500 tahun. Bukti narasi visual paling awal di dunia.”
Sang penunggu menatapnya penuh iba. “Kau beri aku angka, tapi tak kau beri aku suara.”
Dulu, sebelum dikurung kata “pra”, ia hidup di antara air terjun dan karst. Ia membaca bintang sebagai kalender, mengenali musim lewat arah angin, menyanyikan cerita lewat api unggun malam. Di Leang Bulu’ Sipong, ia melukis perburuan, bukan demi seni, tapi demi keabadian. Ia ingin anak-anaknya tahu bahwa keberanian bukan hanya tentang membunuh, tapi tentang bertahan bersama.
Ia tak tahu bahwa lukisan itu akan ditemukan 48 ribu tahun kemudian, dilabeli sebagai “cikal bakal budaya”. Ia hanya tahu: malam itu ia meniup pigmen ke dinding dan kemudian melukis sambil berdoa, agar anaknya tumbuh kuat dan hujan lekas turun.
“Dulu, tak ada prasejarah. Tak ada sejarah awal. Yang ada hanya hidup dan saling menjaga,” bisiknya pada gua yang mulai lembab.
Ia mengambil batu sungai, menajamkannya. Bukan untuk bertarung, tapi untuk memotong umbi dan kulit hewan. Kapak itu ia bentuk dari pengamatan dan ketelitian. Ia tak tahu istilah Paleolitikum, tapi ia tahu kapak itu menyelamatkan hidup anaknya dari lapar. Kini, alat itu dipajang di lemari kaca museum, di etalase Laboratorium Arkeologi, diberi label “kapak perimbas”, diberi umur, tapi tidak diberi nama siapa pun yang pernah menggenggamnya.
Di luar gua, anak-anak sekolah membaca buku sejarah: "Masa prasejarah: manusia belum mengenal tulisan." Mereka menyebut masanya dengan istilah teknis: Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum. Tapi tak satu pun menyebut cintanya pada anaknya, rasa takutnya saat gajah purba melintas, atau syukurnya ketika langit mendung bergemuruh. Tak satu pun menyebutnya manusia.

Seorang peneliti sedang nenatap keindahan alam yang memukau, siap menjelajahi setiap sudutnya. Kredit: Adi Mulyadi.
Ia mendongak, menatap langit. Bintang-bintang kini hanya disebut “objek langit”. Mereka lupa bahwa bintang pernah jadi peta pulang.
“Apakah aku prasejarah?” bisiknya lirih.
“Apakah aku sejarah awal?” gumamnya pelan.
Ia diam, lalu tersenyum.
“Aku adalah awal yang tak pernah selesai. Aku adalah sejarah yang kalian cari, bahkan saat kalian menatap cermin dan tak mengenali dirimu.”
Dan malam itu, sang arkeolog muda berhenti menulis. Ia menatap dinding gua, dan sejenak merasa bahwa ia bukan satu-satunya yang sedang mengamati.
Esoknya, sang arkeolog muda duduk di sudut sebuah kedai kopi tua. Di hadapannya, seorang lelaki berambut perak—arkeolog senior yang telah menapak dari gua ke gua, dari batu ke buku.
Setelah menyeruput perlahan kopinya, lelaki tua itu berkata pelan, nyaris seperti gumaman:
“Kita ini hanya peraba—ilmuwan yang mencoba meraba masa lalu dengan alat, dengan logika, dengan imajinasi. Apa yang kita hasilkan? Pengetahuan, ya. Kadang disebut kebenaran. Tapi ingat, itu kebenaran yang lahir dari metode, bukan dari wahyu. Ia bukan mutlak.”
Matanya menatap dalam ke luar jendela, seakan menyapa masa silam yang selalu menatap balik tanpa suara.
“Kalau kita merasa paling tahu tentang masa lalu, lalu menutup telinga pada yang lain, itu bukan lagi ilmu. Itu dogma. Dan dogma yang mengaku sebagai satu-satunya jalan kebenaran… justru mematikan kemungkinan sejarah itu sendiri.”
Sang arkeolog muda mengangguk perlahan. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa menyelami masa lalu bukanlah tentang menemukan jawaban. Tapi tentang mendengarkan. Menghargai yang tak bisa dijelaskan. Merangkul perbedaan tafsir.
Dan jauh di dalam gua, sang penunggu tersenyum. Ia tahu akhirnya seseorang mulai mendengarkan—bukan dengan telinga, tapi dengan hati.