Oleh: Khusnul Yaqin*
Di tengah krisis lingkungan yang kian kompleks, pencarian atas paradigma baru pengelolaan alam terus berlangsung. Pendekatan biosentris dan ekosentris telah menggeser dominasi antroposentrisme dalam etika lingkungan. Namun keduanya belum sepenuhnya menjawab kebutuhan akan nilai yang lebih mendalam: relasi spiritual antara manusia, alam, dan Yang Mutlak. Di sinilah ekologi transenden mengambil peran. Ia tidak sekadar memandang alam sebagai entitas yang memiliki nilai, tetapi sebagai cermin dari keberadaan Ilahi. Dan dalam konteks ini, konsep kepemimpinan spiritual menjadi kunci.
Menariknya, Surat An-Nas—salah satu surat pendek di penghujung Al-Qur’an—menawarkan kerangka kepemimpinan spiritual yang sangat relevan. Meskipun terkesan sederhana, surat ini menyimpan struktur kepemimpinan yang berlapis, halus sekaligus tegas, yang dapat dijadikan model dalam membangun kesadaran ekologis berbasis transendensi.
Surat ini dimulai dengan seruan: Qul a’udzu birabbin-nas—“Katakanlah: aku berlindung kepada Tuhan (Pengasuh) manusia.” Dalam ayat ini, Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai Rabb, yaitu Sang Pengayom, Pembimbing, dan Pendidik. Kepemimpinan pada tahap ini bersifat lembut, membangun ikatan batin, bukan kekuasaan koersif. Ia memanggil manusia bukan dengan perintah, tetapi dengan pelukan kasih. Sebagaimana dalam alam, keberlanjutan hanya dapat dicapai bila hubungan manusia dengan lingkungan didasari cinta dan penghormatan, bukan sekadar regulasi.
Namun ketika manusia abai terhadap kelembutan Rabb-nya dan melawan fitrah keberadaannya, maka Allah menyatakan Diri-Nya sebagai Malik an-Nas—Raja manusia. Di sini muncul dimensi otoritas. Kepemimpinan tidak lagi hanya membimbing, tetapi juga menetapkan batas dan hukum. Raja hadir bukan untuk menindas, tetapi untuk menjaga tatanan. Seperti alam yang tunduk pada hukum ekologisnya, manusia juga dituntut untuk menaati aturan-aturan ilahiah demi kelestarian hidup bersama. Dalam doa yang diajarkan Imam Ali, terdapat ungkapan penuh makna: wa tha’atuhu ghina—ketaatan kepada-Nya adalah kekayaan sejati. Taat dalam ekologi spiritual bukanlah beban, melainkan anugerah yang memperkaya jiwa dan dunia.
Namun bila manusia tetap membangkang, maka Allah hadir sebagai Ilah an-Nas—Tuhan manusia. Ini bukan lagi sekadar raja atau pengayom, tetapi Dzat yang Mutlak, Sumber segala keberadaan. Dalam tahap ini, kepemimpinan transenden mencapai puncaknya. Ia tidak hanya mengatur atau merawat, tetapi menyadarkan bahwa seluruh eksistensi—alam, manusia, makhluk hidup—berpijak pada satu asal dan satu tujuan. Kepemimpinan Ilahi bukan sekadar otoritas, tetapi eksistensialitas. Tanpa-Nya, tidak ada yang akan ada.
Dari struktur Surah An-Nas ini, kita menemukan bahwa kepemimpinan spiritual dalam ekologi transenden berjalan dalam tiga tahap: kasih sayang (rahmah), otoritas (hikmah), dan kesadaran akan Yang Mutlak (ma’rifah). Model ini bukan hanya teoretis, melainkan operasional. Dalam praksis pengelolaan lingkungan, seorang pemimpin spiritual harus mampu mengayomi masyarakat dan alam seperti seorang rabb, menetapkan regulasi ekologis yang adil dan tegas seperti seorang malik, dan membangun kesadaran ekologis yang transenden seperti seorang ilah.

Surah An-Nas mengandung makna kepemimpinan spiritual dalam ekologi transenden berjalan dalam tiga tahap: kasih sayang (rahmah), otoritas (hikmah), dan kesadaran akan Yang Mutlak (ma’rifah). Credit: ويكيبيديا
Model ini tidak ditemukan dalam pendekatan biosentris yang hanya mengakui nilai hidup semua makhluk, atau dalam ekosentrisme yang menekankan sistem ekologis. Bahkan dalam ekologi transpersonal pun, kesadaran akan kepemimpinan spiritual Ilahi masih terpinggirkan. Maka tak heran, jika krisis lingkungan tak kunjung selesai, sebab krisis sejatinya bersumber dari kehampaan spiritual dalam hubungan manusia dengan alam.
Ekologi transenden menawarkan jalan baru. Ia mengembalikan manusia ke dalam posisi hamba yang bertanggung jawab, bukan penguasa yang serakah. Dan Surat An-Nas menunjukkan bahwa jalan kepemimpinan menuju tatanan ekologis baru tidaklah dimulai dari dominasi, tetapi dari kelembutan ruhani, ketegasan nilai, dan kesadaran akan keberadaan yang Maha Mutlak.
Dalam zaman ketika alam menangis dan manusia kehilangan arah, kita butuh kepemimpinan yang lebih dari sekadar teknokratis. Kita butuh rabb yang membimbing dengan kasih, malik yang menegakkan keadilan ekologis, dan ilah yang menyadarkan manusia akan makna hidupnya. Dan semuanya telah diajarkan, dalam sunyi yang mendalam, oleh Surat An-Nas.
Oleh karena itu kepemimpinan dalam pandangan ekologi transenden haruslah merupakan manifestasi dari kepemimpinan ilahiah, yang tentunya sudah dituliskan dalam sumber suci yaitu Al alquran dan Al hadist. Bila tidak demikian maka kepemimpinan itu menjadi absurd.
Begitu pentingnya kepemimpinan ilahiah ini hingga Allah SWT memeperintah Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikannya sebelum beliau meninggalkan dunia yang fana ini. Perintah itu direkam oleh Alquran
Surat Al-Mā’idah (5) : Ayat 67
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (tentang Kepemimpinan Ilahiah). Jika engkau tidak melakukannya, berarti engkau tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Allah akan memeliharamu dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Tamalanrea mas, 8 April 2025
*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin