, psikiater dari FK Unhas.webp)
Psikiater dari Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Hasanuddin (Unhas) dr Andi Suheyra Syauki MKes SpKJ Subsp-BP(K). (dok unhas.tv)
Di antara semua penyebab, pola asuh menjadi faktor yang sering luput. “Anak Gen Z itu ingin didengarkan, bukan dihakimi,” kata dr. Suheyra.
Ia mengibaratkan, orang tua zaman sekarang banyak belajar public speaking, tapi jarang yang belajar public listening. “Kalau anak bicara, jangan langsung disanggah. Tahan dulu. Dengarkan. Setelah itu baru beri arahan,” ujarnya.
Kegagalan mendengar sering membuat anak merasa sendirian, bahkan ketika hidup di rumah yang penuh orang. Rasa kesepian itu, kata dokter, menjadi salah satu akar dari krisis emosional yang dialami banyak anak muda hari ini.
“Gen Z ingin semuanya cepat,” katanya lagi. “Begitu gagal, mereka mudah menyerah.”
Hal ini diperparah oleh budaya perbandingan di dunia digital. Melihat teman sebaya sukses, punya rumah, atau viral di usia muda, membuat sebagian merasa tertinggal.
“Padahal hidup bukan kompetisi,” katanya lembut. “Tapi Gen Z tumbuh dalam sistem yang membuat mereka berpikir sebaliknya.”
Tekanan untuk “sukses muda” telah melahirkan fenomena baru: quarter life crisis. Sebuah masa ketika usia dua puluhan dipenuhi kebingungan eksistensial—antara idealisme dan realitas, antara ambisi dan keterbatasan. “Kadang mereka lupa, setiap orang punya garis waktu yang berbeda,” ujar dr. Suheyra.
Namun tidak semua suram. Beberapa kampus, seperti Universitas Hasanuddin, mulai membangun sistem yang ramah terhadap kesehatan mental.
“Di Fakultas Kedokteran Unhas, ada careline untuk mahasiswa,” jelasnya. “Begitu ada masalah akademik atau personal, mereka bisa langsung menghubungi konselor.”
Langkah kecil ini menandai perubahan besar dalam paradigma pendidikan: bahwa kesejahteraan mental sama pentingnya dengan prestasi akademik.
“Sekarang banyak kampus dan perusahaan mulai sadar,” ujarnya. “Bahwa produktivitas tak akan bertahan tanpa kesehatan mental.”
Menemukan Keseimbangan: Mindfulness dan Syukur
Ketika ditanya bagaimana cara mencegah kelelahan mental, dr. Suheyra menyebut satu kata: mindfulness. “Berikan waktu untuk diri sendiri,” katanya.
“Renungkan hari yang telah dijalani tanpa menghakimi diri. Bersyukur, tapi juga berani menerima kekurangan,” tambahnya.
Kesadaran sederhana itu, katanya, bisa menjadi penyeimbang di tengah tekanan modernitas. “Kalau tidak bisa menyelesaikan masalah sendiri, jangan ragu mencari bantuan profesional,” tambahnya. “Itu bukan tanda kelemahan, tapi keberanian.”
Di akhir perbincangan, dr. Suheyra menegaskan: “Tidak ada yang salah dengan Gen Z. Mereka hanya tumbuh di dunia yang lebih bising dan cepat dari sebelumnya.”
Tantangannya bukan untuk menjadikan mereka “lebih kuat”, tapi membantu mereka memahami cara bertahan di tengah kebisingan digital, ekspektasi sosial, dan tekanan eksistensial.
Generasi emas mungkin tengah bergulat dengan kecemasan. Tapi di setiap perjuangan mereka, dalam keberanian mengakui luka, dalam kesediaan mencari bantuan, tersimpan benih harapan baru.
Sebuah generasi yang, mungkin, tidak lebih rapuh, melainkan lebih jujur. Dan di situlah letak kekuatan sejati mereka. (*)