PENANG,UNHAS.TV – Dalam ranah sains kesehatan publik, seringkali fokus kita terperangkap dalam siklus reaktif: merawat penyakit, bukan membangun kesehatan. Di sinilah terletaknya titik tolak revolusioner. Jika determinan kesehatan bukanlah nasib, melainkan arsitektur sosial dan fisik yang dapat direkayasa, maka transformasi sistem kesehatan dari model "sick system" yang melayani orang sakit menjadi "health system" yang menumbuhkan populasi sehat, adalah keniscayaan ilmiah dan etika. Keharusan inilah yang menjadi magnet bagi Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas), Prof. Sukri Palutturi, SKM, M.Kes., MSc.PH, PhD, ketika ia menerima undangan prestisius dari WHO Representative Malaysia, Brunei, dan Singapura untuk menghadiri Pertemuan Walikota Asia Pasifik tentang Penguatan Pengaturan Tatanan Sehat di bawah Aliansi Forum Kota Sehat (AFCC).
Acara dua hari yang berlangsung komprehensif pada 25-26 November 2025 di Royale Chulan Penang, Malaysia, ini menyajikan arena diskursus tingkat tinggi yang tidak hanya memaparkan tantangan kesehatan di Malaysia, tetapi juga merangkai pelajaran berharga dari berbagai negara dalam merajut kesehatan ke dalam struktur kehidupan sehari-hari—sebuah konsep yang digarisbawahi oleh Dr. Devender Singh dari WPRO.
Menggagas Ulang Sistem Kesehatan: Melampaui Kuratif
Puncak intelektual pertemuan ini dibuka dengan presentasi mendalam oleh Dr. Rabindra, WHO Representative, yang menekankan pentingnya pergeseran fokus. Ia mengkritik pendekatan kesehatan yang cenderung reaktif dan berpusat pada penanganan penyakit, yang terbukti gagal meningkatkan derajat kesehatan secara signifikan.
"Pendekatan kesehatan banyak dilakukan pendekatan sakit, melayani orang sakit dan cenderung reaktif sehingga gagal meningkatkan derajat kesehatan," jelas Dr. Rabindra. Ia mendorong penggunaan lensa determinan kesehatan untuk mengkaji masalah, yang memungkinkan penanganan langsung pada akar masalah yang lebih komprehensif.
Narasi ini diperkuat dengan sesi mengenai "Menenun Kesehatan dalam Kehidupan Sehari-hari," sebuah panduan berbasis pengaturan untuk populasi yang lebih sehat, yang menyelaraskan kebijakan makro dengan intervensi praktis di tingkat komunitas.

Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (FKM Unhas), Prof. Sukri Palutturi, PhD, menyampaikan pandangannya mengenai tantangan dan strategi pembangunan kota sehat di Asia Pasifik, dalam Pertemuan Walikota Asia Pasifik tentang Penguatan Pengaturan Tatanan Sehat di bawah AFCC, Penang, Malaysia.
Belajar dari Empat Penjuru: Praktik Baik dan Tantangan Universal
Forum menjadi hidup dengan presentasi praktik-praktik baik dari Penang dan Sarawak (Malaysia), Filipina, dan Indonesia. Walaupun memiliki konteks yang berbeda—dari keberhasilan Malaysia dalam pengendalian Kawasan Tanpa Rokok dan program ramah lansia, Filipina dengan pasar sehat, hingga Indonesia dengan penghargaan Swasti Saba—tantangan yang dihadapi ternyata memiliki kemiripan universal:
- Kolaborasi Lintas Sektor: Sulitnya memperkuat dukungan dari sektor-sektor non-kesehatan.
- Pendanaan: Keterbatasan dan variasi sumber pendanaan.
- Partisipasi Masyarakat: Memastikan keterlibatan publik yang berkelanjutan.
Diskusi meja bundar juga menyoroti fokus WHO pada isu lansia yang kompleks, serta pentingnya berjejaring melalui aliansi seperti AFCC dan jejaring kawasan tanpa rokok, di mana keanggotaan terbuka tidak hanya bagi kota, tetapi juga institusi non-kota seperti universitas dan NGO yang memiliki konsen terhadap isu kota sehat.

Foto bersama peserta Pertemuan Walikota Asia Pasifik tentang Penguatan Pengaturan Tatanan Sehat di bawah Aliansi Forum Kota Sehat (AFCC). Acara yang diselenggarakan oleh WHO Western Pacific Region Organization (WPRO) ini berlangsung penuh selama dua hari pada 25-26 November 2025 di Royale Chulan Penang, Malaysia, dihadiri oleh delegasi dari berbagai negara di Asia Pasifik, termasuk Dekan FKM Unhas, Prof. Sukri Palutturi.
Resistensi Kebijakan: Tantangan Krusial dari Perspektif Akademisi
Prof. Sukri Palutturi, seorang Guru Besar FKM Unhas dengan kepakaran di bidang healthy cities, memberikan pandangan tajam berdasarkan kajian literatur dan praktik di berbagai region WHO.
Beliau mengidentifikasi tiga hambatan krusial dalam implementasi Kota Sehat:
- Pemahaman Komprehensif: Kurangnya pemahaman mendalam tentang konsep Kota Sehat di kalangan pemangku kepentingan.
- Kelembagaan dan Pendanaan: Keragaman kelembagaan dan keterbatasan sumber pendanaan.
- Resistensi Politik Lokal: Hambatan paling krusial adalah pergantian kepemimpinan daerah (Bupati/Walikota) yang diikuti oleh pergantian pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
"Dampaknya harus mulai dari nol lagi untuk menjelaskan seperti apa kota sehat tersebut baik dalam konteks nasional maupun internasional, apa urgensinya dan sebagainya," tegas Prof. Sukri.
Oleh karena itu, upaya pengembangan kapasitas yang berkelanjutan dan penguatan kelembagaan yang tahan terhadap pergeseran politik menjadi kunci utama untuk memastikan inisiatif Kota Sehat dapat bertransisi dari proyek ke dalam sebuah gerakan budaya yang mapan.
Pertemuan di Penang ini menegaskan bahwa masa depan kesehatan tidak terletak pada rumah sakit yang canggih, melainkan pada pembangunan infrastruktur kebijakan dan sosial yang secara proaktif menenun kesehatan ke dalam setiap sendi kehidupan masyarakat—sebuah cetak biru yang wajib diadopsi oleh kota-kota di Indonesia.
Tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang kriteria Kota Sehat yang dikembangkan oleh WHO dan Indonesia?(*)
Para peserta Mayor’s Meeting berfoto bersama seusai sesi Strengthening Healthy Settings under Age-Friendly Cities and Communities in Malaysia, yang diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO) di Malaysia. Pertemuan ini membahas penguatan kebijakan dan inisiatif kota ramah usia melalui kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, akademisi, dan lembaga kesehatan masyarakat.






-300x201.webp)

