Hari itu, Bupati Banggai Laut, Sofyan Kaepa, mendatangi rektorat Universitas Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian kerja sama. Sembari menunggu kedatangan Rektor Unhas, Prof Jamaluddin Jompa, Sofyan berbincang dengan Prof Adi Maulana, guru besar Geologi Unhas.
Dalam perbincangan itu, Sofyan terkejut saat diberitahu tentang potensi mineral yang ada di Banggai. Lebih terkejut lagi saat mengetahui, perut bumi Banggai menyimpan logam tanah jarang, komoditas yang tengah diperebutkan di panggung global.
Mulai dari Donald Trump, hingga Xi Jinping dan Putin sama-sama memperebutkan mineral yang setiap inchi-nya menentukan arah teknologi dunia. Seperti apakah?
***
Banyak pihak yang tidak tahu. kawasan Timur Indonesia adalah ‘surganya’ mineral. Dari pesisir Pulau Obi di Maluku Utara, perbukitan Kolaka di Sulawesi Tenggara, hingga pegunungan di Banggai, Sulawesi Tengah, tanah di timur Indonesia diam-diam menyimpan kekayaan yang sedang diperebutkan dunia.
Bukan sekadar emas atau nikel, melainkan logam tanah jarang — Rare Earth Elements (REE) — material krusial bagi masa depan industri teknologi global.
"Kalau bicara potensi mineral, kawasan timur Indonesia itu gudang harta masa depan," ujar Prof. Dr. Eng. Adi Maulana, Guru Besar Geologi Universitas Hasanuddin.
BACA: Saat Adi Maulana Menafsir Bumi
Peta geologi Indonesia menunjukkan kawasan ini bukan hanya kaya emas, nikel, dan batu bara, tetapi juga menyimpan logam-logam strategis seperti kobalt, kromium, platinum, uranium, dan yang paling istimewa: REE dan skandium.
Sebaran REE di kawasan timur Indonesia terbagi dalam dua jalur utama. Pertama, berasal dari batuan granit yang mengalami pelapukan tropis — terutama di Sulawesi Tengah, Banggai, dan sebagian Papua. Kedua, berasal dari endapan nikel laterit di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Namun dari sekian banyak lokasi, nama Banggai perlahan menjadi pusat perhatian.
Di balik lembah-lembah sunyi di Banggai, Sulawesi Tengah, terbentang zona geologi yang sangat spesial. Di sana, batuan granit hasil benturan lempeng bumi jutaan tahun lalu telah mengalami pelapukan intens. Hasilnya adalah tanah lempung kaya logam tanah jarang, dengan ketebalan 3 hingga 8 meter.
Banggai itu unik," ujar Prof. Adi. "Kandungan logam tanah jarangnya cukup mudah diekstraksi karena terikat di tanah lempung hasil pelapukan dan bukan dalam batuan keras." Selain itu, unsur tanah jarang nya juga bisa di dapatkan dari material pasir hasil erosi dan sedimentasi batuan granit Banggai.
Jenis REE yang diduga mendominasi adalah Light Rare Earth Elements (LREE), seperti neodymium dan praseodymium — material utama dalam pembuatan magnet superkuat untuk motor listrik, turbin angin, hingga perangkat militer. Selain itu, di wilayah Banggai juga ditemukan indikasi skandium dari nikel laterit — logam ultra-ringan yang lebih mahal daripada platinum.
Kombinasi ini menjadikan Banggai tidak hanya kaya mineral, tetapi juga sangat strategis dalam peta ekonomi hijau global.
Perebutan Baru di Panggung Global
Saat ini, hampir 90 persen produksi dan pengolahan logam tanah jarang dunia dikuasai Tiongkok. Ketika Amerika Serikat dan Uni Eropa menyadari kerentanan ini, mereka mulai berlomba mencari sumber alternatif. Australia, Kanada, Vietnam, hingga Malaysia masuk radar eksplorasi global.
Dan Indonesia — dengan potensi REE di Banggai dan Sulawesi — tiba-tiba menjadi ladang rebutan baru.
"Logam tanah jarang itu bukan hanya soal tambang, ini senjata geopolitik," tegas Prof. Adi. Tanpa REE, industri kendaraan listrik dan teknologi militer dunia bisa macet. Dalam perang dagang AS-Cina, komoditas ini menjadi kartu truf yang menentukan. Di sinilah posisi Indonesia menjadi sangat krusial.
BACA: Waspada, Indonesia di Ambang Pintu Megathrust
Meski kaya, tantangan terbesar Indonesia justru terletak di hilirisasi. Selama ini, Indonesia kerap jatuh dalam jebakan "kutukan sumber daya" — menggali bahan mentah, mengekspor, lalu membeli kembali produk jadi dengan harga berlipat-lipat.
Prof. Adi menegaskan bahwa pengolahan REE harus masuk dalam kebijakan nasional. "Jangan lagi kita jadi eksportir tanah," katanya. Hilirisasi REE membutuhkan teknologi tinggi: laboratorium pemurnian, pabrik pengolahan, dan SDM riset yang mumpuni.
Negara-negara lain sudah melangkah. Australia menggandeng Jepang untuk membangun fasilitas pemurnian di luar Cina. Vietnam mulai menata strategi REE berkelanjutan. Indonesia tidak boleh tertinggal.
Selain nilai ekonomis, hilirisasi juga menjadi soal kedaulatan nasional. REE bukan hanya barang dagangan, tetapi simbol kekuatan ekonomi baru. "Kalau kita hanya jual mentah, kita kehilangan masa depan," tegas Adi.
Dari Timur, Masa Depan Itu Tumbuh
Transisi energi global sudah di depan mata. Kendaraan listrik, energi terbarukan, dan teknologi digital semakin menjadi kebutuhan sehari-hari. Semua itu membutuhkan logam tanah jarang.
Di perbukitan Banggai, di bawah hutan-hutan Sulawesi, dan di pesisir Halmahera, tanah-tanah tua itu menyimpan bukan hanya kekayaan alam — tetapi kekuatan untuk menentukan masa depan bangsa.
"Ini soal waktu," kata Prof. Adi Maulana. "Kita harus siapkan infrastruktur, teknologi, dan kebijakan sekarang juga. Kalau tidak, kita hanya akan jadi penonton di pertandingan yang lapangannya ada di tanah kita sendiri."
Dari Banggai, dari Sulawesi, dari tanah timur Indonesia — masa depan itu sebenarnya sudah memanggil.