News
Program
Unhas Speak Up

Dosen Sosiologi Unhas Urai Akar Konflik Sosial di Makassar, Bukan Sekadar Masalah Keamanan?

Ilustrasi konflik sosial tawuran antar warga. (freepik)

UNHAS.TV - Konflik sosial menjadi masalah yang kerap kali ditemukan di daerah perkotaan. Namun, peristiwa sosial ini sering disalapahami sebagai masalah keamanan saja. 

Jika melihat lebih jauh, banyak konflik disebabkan oleh masalah sosial yang lebih luas, seperti tekanan ekonomi, ketimpangan wilayah, kesenjangan infrastruktur, dan bahkan minimnya ruang dialog antar pemuda.

Dosen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Hariashari Rahim SSos MSi, memaparkan masalah tersebut dari sudut pandang seorang Sosiolog di program Unhas TV, Unhas Speak Up yang tayang pada Rabu (03/12/2025).

Hariashari menjelaskan, terkait fenomena kelompok tawuran pemuda di Kota Makassar yang terus berulang. Menurutnya, banyak faktor yang bisa membuat masalah tersebut terjadi, seperti pada aspek sosiologis yang mencakup budaya dan identitas.

Dari perspekif sosiologi, pemuda memang dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan identitasnya. ”Masa peralihan dari remaja ke dewasa kan ada proses transisi karakter,” ungkapnya.


Dosen Sosiologi FISIP Unhas Hariashari Rahim. (dok unhas tv)


Pengaruh pertumbuhan penduduk  juga menjadi salah satu faktor terjadinya konflik sosial di Kota Makassar. Hariashari berpendapat, pertambahan penduduk bisa menjadi awal mula terjadinya pergesekan antara masyarakat.

Ia mengamati, adanya wilayah eksklusif yang tidak bisa dihuni oleh kalangan tertentu, menjadikan kebanyakan masyarakat memilih bermukim di wilayah pinggiran. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya konflik yang terus-terusan di masyarakat. 

”Di wilayah pinggiran itu, satu rumah bisa ditempati banyak kepala keluarga. Kondisi itu pastinya berdampingan dengan sanitasi yang buruk, akses pendidikan dan kesehatan pasti susah, kriminalitas, dan juga pekerjaan juga sukar didapatkan,” terang Dosen Sosiologi tersebut.

Dosen kelahiran Bone itu, menyebut untuk bisa mengarahkan energi anak muda ke kegiatan positif, infrastruktur memang perlu mewadahi untuk kelompok pemuda. Di lain sisi, apabila tidak dikelola dengan baik, ikatan sosial pemuda akan melahirkan bencana.

Ruang Dialog dalam Mencegah Konflik Sosial

Pada 2016, Hariashari sempat meriset terkait peran pemuda khususnya sebagai agen penyelesaian konflik. Menurutnya lembaga-lembaga pemuda bisa menjadi katup penyelemat. ”wadah itu bisa mengaktualisasi kegiatan-kegiatan sosial,” jelasnya.

Ia juga menyebut jika pemerintah perlu didorong untuk menyiapkan pilar-pilar sosial dalam mengkondisikan wilayah yang berpotensi terjadinya konflik sosial. ”Pemerintah perlu mengoptimalkan tiap peran perangkat pemerintah,” tutur Hariashari.

Secara sturuktural, pemerintah perlu melakukan pemerataan ekonomi dan infrastruktur pada wilayah-wilayah yang sering terjadi konflik sosial.

”Pastikan masyarakat itu bisa mengakses pendidikan dengan baik, menyediakan sekolah di wilayah pinggiran dengan baik, kemudian mengakses kesehatan. Dan paling penting, pemerintah perlu menyejahterakan tiap keluarga,” ujarnya.

Adapun peran kampus dalam mencegah konflik sosial, Hariashari berpendapat, Kampus yang ditopang oleh tridharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian, harusnya menjadi laboratorium sosial.

Ini juga menjadi tanggung jawab moral untuk menyalurkan pengetahuan ke masyarakat. ”Kita mencarikan solusi untuk menyelesaikan persoalan ini,” jelasnya.

(Achmad Ghiffary M / Unhas TV)