News
Polhum

Duel Indonesia versus Korea di Proyek Jet Tempur KF-21

undefined

oleh: Yusran Darmawan*

Mereka tersenyum lebar di depan kamera. Presiden Korea Selatan Lee jae-Myung dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto berjabat tangan hangat di sela KTT APEC. Tapi di balik senyum diplomatik itu, dua negara ini sedang bersitegang. 

Di dunia maya, netizen Indonesia dan Korea Selatan saling berbalas komentar tajam di media sosial. Isunya bukan sepele: soal proyek jet tempur bersama, KF-21 Boramae.

Kecurigaan bermula dari kunjungan Menteri Luar Negeri Indonesia, Sugiono, ke Korea Utara. Media Korea Selatan menuding Indonesia berpotensi membocorkan rahasia pertahanan mereka. Nada rasis dan sinis pun mewarnai lini masa. Warganet Korea mengejek Indonesia sebagai negara miskin yang tak pantas memegang teknologi tinggi.

Publik negeri ginseng itu sedang kesal. Beberapa bulan ini, indonesia menghebohkan dunia dengan mengumumkan pembelian 42 jet tempur Rafale dari Prancis, 42 jet J-10C dari Tiongkok, dan menjajaki kerja sama dengan Turki untuk 42 jet KAAN. 

Publik negerinya Lee Min-ho tak menyangka, Indonesia justru punya banyak pilihan. Di saat mereka masih menunggu masa depan proyek KF-21, Indonesia sudah melangkah lebih jauh.

Padahal, awalnya proyek KF-21 dikibarkan dengan semangat kebersamaan. Tapi antusiasme itu berubah menjadi kekecewaan, terutama setelah insinyur-insinyur Indonesia ditahan otoritas Korea pada 2022.Mereka dituduh membocorkan rahasia desain pesawat siluman, proyek yang dianggap simbol kemandirian pertahanan Korea Selatan.

Media di Seoul memberitakan peristiwa itu dengan nada sensasional. Di Jakarta, kabar itu justru menimbulkan bingung dan kecewa. Para insinyur itu bukan mata-mata. Mereka anggota resmi dari PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang bekerja di bawah perjanjian pemerintah kedua negara. Sejak saat itu, kepercayaan di antara dua mitra strategis mulai retak.

Janji yang Tak Pernah Sempurna

Proyek KF-21 diluncurkan pada 2015 sebagai simbol ambisi Korea Selatan menjadi kekuatan baru di industri pertahanan udara. Pesawat generasi 4,5 ini dikembangkan Korea Aerospace Industries (KAI) dengan dukungan Lockheed Martin.

Pesawat ini dirancang berkecepatan Mach 1,8, beradius tempur 1.000 kilometer, serta dilengkapi radar AESA dan rudal modern seperti Meteor dan Taurus KEPD 350K.

Indonesia ikut sejak awal. Berdasarkan perjanjian tahun 2015, Indonesia menanggung 20 persen biaya pengembangan atau sekitar 1,6 triliun won (US$1,2 miliar).

Sebagai imbalannya, Indonesia dijanjikan transfer teknologi, keterlibatan PTDI dalam rantai pasok, dan pelatihan insinyur di bidang desain dan sistem avionik. Namun janji itu hanya indah di atas kertas.

Setelah dua tahun bekerja di Korea, para insinyur Indonesia menyadari kenyataan pahit. Mereka hanya diberi akses ke bagian mekanikal dan aerodinamika: perhitungan beban struktural, desain sayap, dan tata letak bahan bakar.

Akses ke laboratorium utama yang menangani teknologi siluman dan radar ditutup rapat. Mereka tidak diizinkan melihat data radar cross-section, material penyerap gelombang (RAM), atau kode sistem kendali penerbangan.

Setiap kali mempertanyakan perbedaan perlakuan, jawabannya selalu sama: teknologi itu dilindungi aturan ITAR (International Traffic in Arms Regulations) Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, alasan itu justru menjadi bukti bahwa kemitraan penuh tak pernah benar-benar ada. Indonesia mengira Korea punya kemandirian teknologi. Ternyata, Korea juga mengandalkan Amerika. Di tambah lagi, Indonesia punya trauma saat lama di-embargo Amerika.

Sejak itu, kepercayaan Indonesia terhadap proyek KF-21 mulai goyah. Ini bukan soal uang, tapi soal penghargaan terhadap pengetahuan dan hak belajar yang dijanjikan sejak awal.

Mineral Langka dan Tuduhan Balas Budi

Keretakan hubungan makin dalam setelah beredar kabar bahwa Korea Selatan berencana membeli mineral tanah jarang dari Indonesia, bahan penting untuk pembuatan lapisan stealth pesawat tempur.

Indonesia bersedia menjual, tapi dengan satu syarat: pelibatan insinyur Indonesia dalam pengembangan material tersebut. Syarat itu tak pernah dipenuhi.

“Selama dua tahun, insinyur kita hanya diajak mengerjakan desain aerodinamika, bukan teknologi siluman,” kata seorang analis pertahanan di Jakarta. “Amerika jelas tidak mengizinkan Korea membagi resepnya.”


>> Baca Selanjutnya