News
Polhum

Duel Indonesia versus Korea di Proyek Jet Tempur KF-21



Pesawat KF-21 Boramae


Kecurigaan muncul: jangan-jangan proyek ini hanya cara Korea mengamankan pasokan mineral langka dari Indonesia. Pada 2022, Indonesia menunda pembayaran tahap ketiga proyek KF-21.

Media Korea menuding Jakarta “tak punya uang”, padahal bagi pejabat pertahanan Indonesia, penundaan itu adalah bentuk protes terhadap ketimpangan kerja sama.

“Kalau kita mampu membeli 42 Rafale senilai US$8 miliar, tentu kita mampu bayar KF-21,” ujar seorang pejabat Indonesia kepada The Jakarta Post. “Tapi untuk apa membayar penuh jika janji transfer teknologi tidak ditepati?”

Negosiasi ulang pada 2025 menurunkan kontribusi Indonesia dari 1,6 triliun won menjadi 600 miliar won (sekitar US$438 juta). Seoul kecewa, tapi akhirnya menerima. Sebab kehilangan Indonesia berarti kehilangan mitra kredibel dan daya jual ekspor KF-21.

Tanpa Indonesia, proyek Boramae kehilangan citra sebagai kolaborasi Asia yang menandingi F-16. Investor dari Filipina, Malaysia, dan Uni Emirat Arab mulai ragu.

Lebih dari itu, kehilangan Indonesia juga berarti kehilangan 20 persen pendanaan dan reputasi global. KAI, yang selama ini dikenal mampu bermitra setara dengan Lockheed Martin, kini tampak lebih tunduk pada lisensi Amerika daripada semangat kolaborasi.

Korea akhirnya mengalah. Mereka tahu kehilangan Indonesia sepenuhnya justru akan memperlemah posisi geopolitik mereka di Asia. Sebab Indonesia bukan sekadar penyumbang dana, melainkan simbol legitimasi di pasar pertahanan Asia Tenggara.

Langkah Strategis Indonesia

Keputusan Indonesia membeli Rafale, J-10C, dan menjalin kemitraan dengan Turki untuk jet KAAN adalah langkah strategis. Dunia membaca pesan yang jelas: Indonesia tidak ingin bergantung pada satu negara.

Ini bukan sekadar pembelian, tapi reposisi geopolitik. Indonesia kini membangun jalan sendiri, belajar dari berbagai sumber, dan menolak tunduk pada satu blok teknologi.

Dalam sejarah industri pertahanan, jarang ada negara berkembang yang berani menegosiasikan ulang proyek sebesar ini. Indonesia melakukannya bukan karena lemah, tapi karena belajar dari pengalaman: kemitraan sejati hanya terwujud jika ilmu dibagi, bukan disembunyikan.

Di Bandung dan Surabaya, riset radar buatan dalam negeri, eksperimen material komposit, serta simulator tempur digital kini tengah dikembangkan. Langit kemandirian itu sedang disiapkan dengan tenang.

Mungkin hari ini Indonesia belum memiliki jet sekelas F-35. Tapi bangsa yang pernah membuat N-250 dari tangan anak negeri takkan selamanya bergantung pada siapa pun. Retaknya proyek KF-21 bukan akhir, melainkan awal kesadaran baru—bahwa untuk menguasai langit, Indonesia tak perlu menumpang sayap negara lain.

Suatu hari nanti, ketika langit Asia dipenuhi deru mesin buatan Nusantara, dunia akan mengingat momen ini: saat Indonesia berhenti menjadi penonton, dan mulai menulis babak baru sebagai penguasa langitnya sendiri.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Tinggal di Bogor, Jawa Barat.