UNHAS.TV - Media sosial (medsos) kini berkembang menjadi arena politik baru yang semakin aktif diisi oleh generasi Z (Gen Z).
Ruang digital tidak hanya berfungsi sebagai medium komunikasi, tetapi juga menjadi wadah demokratis bagi anak muda untuk membentuk opini, menyuarakan aspirasi, hingga mendorong lahirnya gerakan sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa transformasi komunikasi dari interaksi langsung ke ruang digital telah membuka jalan bagi terciptanya partisipasi politik yang lebih luas dan inklusif.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Hasanuddin, Dr Hasrullah MA, menyebut bahwa perubahan ini merupakan salah satu ciri zaman yang tak bisa dihindari.
“Dulu orang harus berproses panjang untuk menyampaikan gagasan, sekarang cukup dengan media sosial pesan bisa langsung diterima publik”, ujarnya, dalam program siniar Unhas Speak Up, Senin (22/9/2025).
Menurutnya, media sosial sudah tidak lagi sebatas hiburan, tetapi telah beralih fungsi menjadi arena politik yang membentuk solidaritas dan opini publik.
Dalam paparannya, ia menyinggung fenomena di Indonesia dan Nepal, di mana media sosial bahkan dijadikan “parlemen digital” untuk melahirkan simbol perlawanan.
Penggunaan platform seperti Discord, misalnya, menjadi wadah diskusi yang mampu menyaingi forum formal.
“Lebih dari 80 persen masyarakat hari ini menggunakan media sosial setiap hari, dan ini memengaruhi cara mereka berpikir serta bergerak,” jelas Hasrullah.
Ia menilai, besarnya angka itu membuat ruang digital menjadi titik temu utama dalam membicarakan isu-isu politik dan sosial.
Kekuatan besar ini juga membawa konsekuensi. Pesan yang cepat menyebar berpotensi memicu aksi nyata di lapangan. Hasrullah mengingatkan bahwa teori “peluru panas” dalam komunikasi kini semakin nyata di era digital.
“Pesan yang mengandung kebenaran, kalau viral, bisa langsung memantik aksi massa. Pemerintah harus hati-hati membaca gejala ini,” katanya.
Ia juga menyoroti kesenjangan generasi antara pemimpin dan masyarakat muda. Menurutnya, langkah sebagian penguasa yang membatasi media justru menimbulkan kemarahan.
“Ketika pemimpin menutup akses media, itu justru memicu kemarahan. Karena sekarang setiap orang adalah media,” tegasnya.
Fenomena ini menandakan bahwa kontrol narasi tidak lagi sesederhana pendekatan ke redaksi, karena publik memiliki ruang sendiri untuk menyuarakan gagasan.
Hasrullah juga menyinggung sisi gelapnya. Ia menilai setiap gerakan sosial yang muncul melalui dunia digital tidak selalu murni berasal dari aspirasi masyarakat, melainkan sering kali disusupi kepentingan lain.
“Dalam setiap gerakan massa selalu ada ‘penumpang gelap’. Karena itu, pemerintah harus lebih bijak dalam membedakan mana gerakan otentik dan mana yang ditunggangi,” jelasnya.
Hasrullah menegaskan perlunya aturan jelas dalam bermedia sosial, sebagaimana rambu lalu lintas di jalan.
“Kita butuh aturan seperti lalu lintas di jalan raya. Kalau tidak, ruang digital bisa semrawut. Pemerintah harus hadir, terutama lewat literasi digital,” ujarnya.
Ia bahkan menyarankan agar etika digital menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi, mengingat besarnya dampak media sosial terhadap semua lapisan masyarakat.
Perhatian juga diarahkan pada fenomena kecanduan konten singkat. Hasrullah menilai video berdurasi pendek memang menarik, tetapi berisiko membuat generasi muda kehilangan fokus.
“Anak muda harus lebih berani membaca konten panjang agar tidak terjebak dalam pola instan,” pesannya.
Ia juga menekankan pentingnya ketahanan pribadi dalam menghadapi perbandingan sosial di media. “Jangan bandingkan diri dengan orang lain. Setiap orang punya cerita unik. Kegagalan itu bagian dari proses menuju perbaikan diri”, tambah Hasrullah.
(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas.TV)