Saintek

Dunia Anak di Era AI: Tumbuh Besar Bersama Kecerdasan Buatan

UNHAS.TV - Di tengah sorot lampu dan layar yang menampilkan video hasil kreasi AI, Sam Altman duduk tenang. Suaranya tidak lantang, tapi setiap kalimatnya bergema. Ada satu momen sunyi yang terasa sangat manusiawi, saat ia berbicara tentang anaknya.

“Anak-anakku,” katanya, “tidak akan tumbuh di dunia di mana komputer tidak bisa memahami mereka.”

Bukan metafora. Itu kenyataan yang sedang dibangun hari demi hari oleh para pengembang kecerdasan buatan di seluruh dunia.

Altman bukan tokoh biasa di dunia teknologi. Ia adalah CEO OpenAI, perusahaan yang berada di balik ChatGPT, DALL-E, hingga Sora—model-model kecerdasan buatan yang dalam waktu singkat mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berkarya.

Lahir di Chicago pada 1985 dan dibesarkan di Missouri, Altman dikenal sejak usia muda sebagai sosok jenius teknologi. Sebelum memimpin OpenAI, ia menjabat sebagai presiden Y Combinator, inkubator startup yang membantu melahirkan nama-nama besar seperti Airbnb dan Dropbox.

Tapi namanya benar-benar melejit saat ia memimpin peluncuran ChatGPT pada akhir 2022, yang kini digunakan oleh ratusan juta orang di seluruh dunia.

Generasi baru sedang lahir di tengah ledakan teknologi yang tak tertandingi dalam sejarah. Bukan sekadar menyaksikan—mereka hidup di dalamnya.

Dari balita yang berinteraksi dengan layar sentuh, hingga remaja yang menjadikan ChatGPT sebagai teman curhat dan guru privat. Dunia yang kita anggap revolusioner, bagi mereka adalah kebiasaan sehari-hari.

Altman menyebut sebuah video lawas: seorang balita mencoba memperbesar halaman majalah dengan jari seperti menyentuh iPad. "Majalah itu terlihat rusak baginya," kata Altman. Bagi generasi berikutnya, dunia tanpa AI bisa jadi akan tampak seperti anomali sejarah.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah AI akan hadir dalam kehidupan anak-anak kita. Ia sudah hadir—di ponsel, di ruang kelas, bahkan di dalam boneka pintar yang bisa menjawab pertanyaan. Yang menjadi pertanyaan besar adalah: nilai apa yang akan dibentuk dalam dunia yang sebagian besar dijalankan oleh kecerdasan buatan?

Akankah AI membuat anak-anak menjadi lebih bijak, lebih reflektif, atau justru semakin terasing dari realitas manusiawi?

Dalam wawancara TED itu, Altman menyebut bahwa ChatGPT suatu hari mungkin akan menjadi “perpanjangan dari diri Anda.” Sebuah entitas yang mengenal Anda sedalam-dalamnya, yang bisa mendampingi Anda seumur hidup, seperti sahabat, guru, atau penasihat pribadi.

Jika benar, maka dunia anak-anak akan diwarnai oleh kehadiran sosok digital yang nyaris tak pernah tidur dan selalu siap membantu.

Ada optimisme besar di sana: anak-anak bisa belajar lebih cepat, menemukan jawaban tanpa batas, dan tumbuh dengan dukungan teknologi cerdas. Tapi ada pula bayang-bayang cemas: tentang privasi, ketergantungan, dan kemungkinan bahwa anak-anak belajar mempercayai mesin lebih daripada orang tuanya sendiri.

Bagi Altman, menjadi ayah mengubah perspektifnya. Ketika ditanya apakah ia akan menekan sebuah tombol yang memberi anaknya kehidupan terbaik, tapi juga membawa risiko kehancuran 10 persen, ia menjawab dengan tegas: tidak.

Jawaban itu sederhana, tapi sarat makna. Karena sejatinya, pengembangan AI hari ini adalah semacam tombol merah. Dan banyak pihak, termasuk Altman, sedang bergulat dengan pertanyaan etis: seberapa jauh kita siap membiarkan mesin-mesin ini mengambil peran dalam kehidupan generasi mendatang?

Yang pasti, anak-anak kita akan tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda. Dunia di mana pekerjaan mereka mungkin dilakukan bersama, atau bahkan oleh, AI. Dunia di mana kreativitas mereka bisa dipertajam oleh algoritma, atau malah dikaburkan oleh batasan mesin.

Altman tidak menyuguhkan solusi pasti. Tapi ia mengingatkan satu hal penting: kita tidak bisa hanya membicarakan teknologi. Kita harus membicarakan masa depan anak-anak kita—apa yang ingin kita wariskan, dan siapa yang seharusnya mengambil keputusan atas nama mereka.

Dan mungkin, pada akhirnya, tugas kita bukan mencegah anak-anak hidup berdampingan dengan AI. Tapi memastikan bahwa di tengah kecanggihan algoritma dan derasnya data, mereka tetap tumbuh sebagai manusia. Sepenuhnya manusia.