UNHAS.TV - Di tengah gempuran tren konsumtif dan budaya serba cepat, muncul sebuah pendekatan hidup baru yang justru mengedepankan kesederhanaan. Gaya hidup ini dikenal dengan istilah YONO — You Only Need One.
Berbeda dengan konsep YOLO (You Only Live Once) yang sempat viral dalam dekade sebelumnya, YONO menawarkan perspektif hidup yang lebih sadar, hemat, dan berorientasi jangka panjang.
Konsep YONO mulai populer di awal 2025, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mental wealth dan stabilitas finansial.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan dampak pascapandemi, masyarakat kini lebih selektif dalam menentukan kebutuhan.
Mereka cenderung membeli barang yang benar-benar esensial—satu pakaian serbaguna, satu gadget fungsional, atau satu hobi bermakna—alih-alih mengejar tren konsumtif.
“YONO itu lebih pada kesadaran untuk memilih mana yang betul-betul dibutuhkan. Ini berdampak pada pengelolaan keuangan, kestabilan emosi, hingga kualitas hidup secara keseluruhan,” ujar dosen Psikologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Syurawasti Muhiddin SPsi MA.
Menurutnya, pilihan seseorang antara YONO dan YOLO dipengaruhi oleh personal values dan lingkungan sosial. Mereka yang menerapkan YONO biasanya memiliki kontrol diri lebih tinggi serta kesadaran akan masa depan.
Sebuah studi dari University of California (2023) menunjukkan bahwa praktik gaya hidup minimalis seperti YONO dapat menurunkan tingkat stres hingga 33% dibandingkan dengan gaya hidup konsumtif.
Penelitian lain yang dipublikasikan di Journal of Positive Psychology menyebutkan bahwa individu yang menerapkan prinsip “less is more” mengalami peningkatan dalam kepuasan hidup dan mindfulness.
Tak hanya berdampak pada finansial, YONO juga mendorong pola pikir reflektif. Masyarakat diajak untuk berhenti sejenak, mengevaluasi apa yang benar-benar dibutuhkan, serta menghindari impulsive buying yang kerap dikaitkan dengan YOLO.

GAYA HIDUP. Fenomena dari gaya hidup You Only Need One (YONO) yang mengedepankan kesederhanaan. (unhas.tv)
Namun demikian, Syurawasti dari mata psikologi mengingatkan bahwa segala sesuatu yang berlebihan bisa berdampak buruk.
“Kalau YONO diterapkan terlalu kaku, bisa muncul ketakutan untuk mencoba hal baru, takut mengambil risiko, dan akhirnya tidak berkembang,” tambahnya.
YOLO vs YONO: Mana yang Lebih Sehat?
You Only Live Once (YOLO) sering diasosiasikan dengan kesenangan jangka pendek, kebebasan, dan petualangan spontan.
Namun di balik itu, tak jarang membawa risiko finansial dan psikologis, seperti penyesalan dan krisis identitas. Sementara YONO membawa angin segar bagi mereka yang ingin hidup lebih tertata, fokus, dan berkualitas.
Pakar keuangan dari World Economic Forum bahkan menyebut tren gaya hidup YONO sebagai “financial mindfulness movement” yang akan menjadi gaya hidup dominan generasi milenial dan Gen Z pada lima tahun ke depan.
Kesimpulannya, apapun gaya hidup yang dipilih, baik YONO maupun YOLO, kuncinya adalah keseimbangan.
Seperti yang disampaikan Syurawasti, “Jangan berlebihan. Gaya hidup itu seharusnya mendukung kualitas hidup, bukan malah membebani kita.”
(Zulkarnaen / Unhas.TV)