Catatan Eka Sastra dari Roma, Italia*
“Tidak ada masa depan bagi dunia tanpa keberanian untuk berdamai.”
Kalimat itu menggema di udara Roma ketika ribuan orang dari berbagai agama dan bangsa berjalan menuju Colosseum pada 28 Oktober 2025.
Forum Daring Peace—atau Osare la Pace—yang digelar oleh Komunitas Sant’Egidio menjadi panggung global bagi satu pesan sederhana namun berani: perdamaian membutuhkan keberanian.
Dunia kini berada dalam kelelahan moral. Perang di Ukraina belum berakhir, konflik Gaza terus meluas, dan krisis di Sudan hingga Timur Tengah memunculkan generasi baru pengungsi. Dunia kehilangan bahasa dialog.
Dalam keheningan itu, Komunitas Sant’Egidio dari Roma mengundang pemimpin lintas agama dan bangsa untuk kembali berbicara tentang satu hal yang terlupakan: damai.
Forum ini berlangsung selama tiga hari, 26–28 Oktober 2025, menghadirkan lebih dari 10.000 peserta dan sekitar 300 pemimpin agama dunia. Mereka datang bukan untuk mencari kemenangan, tapi untuk memulihkan keyakinan bahwa manusia masih bisa hidup bersama tanpa saling meniadakan.
Sant’Egidio bukan organisasi biasa. Berdiri pada 1968, komunitas Katolik awam ini dikenal dengan “diplomasi sunyi,” cara berdialog tanpa sorotan kamera, mengandalkan kepercayaan dan kemanusiaan. Dari Mozambik hingga Sudan Selatan, mereka membantu memediasi konflik, bukan dengan kekuatan militer, tapi dengan keberanian moral.
Forum Daring Peace adalah kelanjutan dari semangat Spirit of Assisi (1986), saat Paus Yohanes Paulus II mempertemukan agama-agama dunia. Tradisi itu kini hidup kembali di Roma, kota yang pernah menjadi pusat kekuasaan, kini menjadi pusat harapan.
Tema tahun ini — Daring Peace — mengajak manusia untuk berani menentang logika perang. Di auditorium dan gereja-gereja Roma, para pemimpin agama, politisi, ekonom, dan aktivis muda duduk bersama. Mereka berbicara tentang perdamaian, keadilan sosial, lingkungan, ekonomi manusiawi, dan rekonsiliasi antarbangsa.
Andrea Riccardi, pendiri Sant’Egidio, mengatakan: “Berani berdamai berarti menolak arus besar dunia yang terbiasa membenarkan kekerasan.”
Perdamaian, bagi mereka, bukan sekadar tidak berperang, tapi keberanian untuk mengubah cara berpikir manusia tentang kekuasaan dan perbedaan.
Doa di Colosseum: Simbol Luka yang Menyembuhkan
Puncak acara berlangsung di Colosseum. Di luar arena kuno itu, para pemuka agama berdoa menurut tradisi masing-masing. Di dalam, semua berkumpul membaca “Deklarasi Perdamaian Roma 2025”:
“Kami menolak perang sebagai cara menyelesaikan konflik, karena perang adalah kegagalan politik dan kekalahan kemanusiaan.”
Suasana hening dan sakral. Lonceng gereja berdentang, sementara suara doa Islam dan Buddha mengalun pelan. Roma sore itu seakan menjadi jantung dunia yang berdetak satu: untuk damai.
Tahun ini, Indonesia tampil menonjol dengan kehadiran Muhammad Jusuf Kalla, Nasaruddin Umar, dan Arsjad Rasjid.

saat Prof. Nasaruddin Umar berbicara

Saat M. Arsjad Rasjid berbicara
Jusuf Kalla dikenal luas sebagai mediator perdamaian di Poso dan Aceh, membagikan pengalamannya tentang diplomasi moral.
Nasaruddin Umar membawa nilai Islam rahmatan lil alamin dan pluralisme Indonesia ke forum lintas iman dunia.
Arsjad Rasjid berbicara tentang tanggung jawab dunia usaha dalam membangun perdamaian sosial dan ekonomi yang berkeadilan.
Kehadiran mereka menunjukkan bahwa Indonesia bukan sekadar penonton, tapi pelaku aktif dalam diplomasi perdamaian global. Indonesia hadir dengan pesan sederhana namun kuat: “Bhinneka Tunggal Ika” adalah bukti bahwa keberagaman bisa menjadi jalan menuju harmoni.
Banyak yang mengatakan perdamaian itu utopia. Namun forum ini justru membalik pandangan itu. Seorang peserta dari Afrika berkata, “Kami datang bukan untuk berbicara, tapi untuk belajar mendengarkan.”
Dalam dunia yang dipenuhi kebencian dan polarisasi, keberanian untuk mendengarkan mungkin adalah bentuk tertinggi dari keberanian itu sendiri. Itulah makna sejati dari Daring Peace.
Forum ini tidak hanya mengingatkan kita tentang nilai moral agama, tetapi juga menegaskan bahwa perdamaian adalah tugas semua manusia, bukan hanya pemimpin dunia. Seperti kata Paus Leo XIV dalam pidato penutupnya:
“Perdamaian adalah pekerjaan setiap hari, bukan hasil akhir. Ia dimulai dari hati yang berani mencintai.”
Roma menjadi saksi bahwa agama-agama besar masih mampu duduk bersama tanpa saling menguasai. Bahwa di tengah perang dan retorika kebencian, masih ada ruang untuk keheningan yang menyembuhkan.
Berani Memilih Damai
Sore itu, saat matahari tenggelam di balik Colosseum, lonceng gereja bersahutan dengan azan yang menggema dari pengeras suara kecil. Dua suara berbeda itu berpadu tanpa meniadakan satu sama lain, seperti pesan dunia yang dicita-citakan forum ini.
Daring Peace mengingatkan kita bahwa perdamaian bukan hadiah, tapi keputusan. Ia lahir dari keberanian untuk menolak logika kebencian, untuk mengulurkan tangan lebih dulu, dan untuk mempercayai bahwa manusia lain juga ingin hidup dalam damai.
Roma telah berbicara. Kini giliran kita untuk menjawab, apakah kita cukup berani untuk memilih perdamaian?
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Ilmu Ekonomi (IKAIE) Universitas Hasanuddin
undefined








