MAKASSAR, UNHAS.TV – Lebih dari 90 persen anak di Indonesia mengalami kerusakan gigi sejak usia dini. Fakta ini sering kali dianggap sepele, padahal berdampak besar terhadap nutrisi, konsentrasi belajar, hingga kepercayaan diri anak.
Hal itu terungkap dalam podcast Unhas Sehat bersama narasumber Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin (FKG Unhas) Prof Dr drg Muh Harun Achmad MKes SpKGA KKA(K) FSASS.
Menurut Prof. Harun, kerusakan gigi anak terbagi menjadi dua kategori, yakni kerusakan gigi awal (early childhood caries atau ECC) dan rampan karies yang mengenai hampir seluruh permukaan gigi.
“Kerusakan gigi awal biasa kita kenal dengan nursing battle caries. Penyebabnya karena anak dibiarkan tidur sambil mengisap botol susu, sehingga cairan susu mengendap di lapisan gigi hingga pagi. Ini biasanya terlihat di gigi seri atas dan bawah,” jelasnya.
Sementara itu, rampan karies bersifat lebih kompleks. Kondisi ini tidak hanya dipicu faktor genetik, tetapi juga pola asuh dan kebiasaan anak mengonsumsi makanan serta minuman manis.
“Banyak orang tua kurang sadar bahwa minuman berkarbonasi, junk food, hingga ultra processed food menjadi pemicu utama kerusakan gigi anak,” tambah Prof. Harun.
Sebagian orang tua beranggapan gigi susu tidak perlu dijaga karena akan terganti dengan gigi permanen. Namun Prof. Harun menegaskan, gigi susu punya peran vital bagi tumbuh kembang anak.
“Gigi susu itu pemandu alami gigi permanen. Kalau dicabut terlalu cepat, gigi permanen kekurangan ruang dan tumbuh tidak beraturan. Akibatnya bisa muncul maloklusi, seperti gigi tonggos,” ungkapnya.
Selain itu, gigi susu berfungsi membantu pengunyahan, pembentukan suara, hingga mencegah infeksi mulut. Jika diabaikan, dampaknya bisa meluas ke kesehatan fisik maupun psikologis anak.
“Kerusakan gigi anak berdampak pada nutrisi, karena mereka hanya bisa makan makanan lunak. Itu memengaruhi pencernaan, kualitas tidur, bahkan kecerdasan. Ada penelitian yang menunjukkan anak dengan fungsi kunyah baik memiliki memori lebih kuat dibanding anak yang terganggu pengunyahannya,” papar Prof. Harun.
Kerusakan gigi susu yang dibiarkan dapat memicu penyempitan rahang, kehilangan ruang gigi permanen, hingga mengganggu estetika. Tidak hanya itu, menurut Prof. Harun, kondisi ini juga berhubungan dengan perkembangan kognitif.
“Fungsi kunyah yang tidak maksimal bisa memengaruhi stimulasi otak. Itu berimplikasi pada daya ingat, konsentrasi, hingga akselerasi berpikir anak. Jadi bukan hanya soal kesehatan mulut, tetapi juga tumbuh kembang secara menyeluruh,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan orang tua dan tenaga kesehatan dalam menjaga kebersihan gigi anak sejak dini, termasuk membatasi konsumsi makanan manis, memperhatikan pola asuh, dan rutin memeriksakan gigi ke dokter.
“Hal sepele seperti membiarkan anak tidur dengan botol susu bisa berdampak panjang. Karena itu, edukasi dan kesadaran orang tua menjadi kunci dalam mencegah kerusakan gigi anak,” pungkas Prof. Harun.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)