SWEDIA, UNHAS.TV - Hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran 2025 telah dianugerahkan kepada tiga ilmuwan – dua di antaranya dari Amerika dan satu dari Jepang – atas penemuan mereka tentang bagaimana sistem kekebalan tubuh melindungi manusia dari ribuan mikroba berbeda yang mencoba menyerang tubuh kita.
Mary E. Brunkow, Fred Ramsdell, dan Shimon Sakaguchi akan berbagi hadiah tersebut "atas penemuan fundamental mereka terkait toleransi imun perifer," demikian diumumkan Komite Nobel pada hari Senin dalam sebuah upacara di Stockholm, Swedia.
Para pemenang berhasil mengidentifikasi "sel T regulator", yang berfungsi seperti penjaga keamanan sistem kekebalan tubuh dan mencegah sel-sel kekebalan tubuh menyerang tubuh kita sendiri, yang menjadi penyebab penyakit autoimun.
"Penemuan mereka sangat penting bagi pemahaman kita tentang bagaimana sistem kekebalan tubuh berfungsi dan mengapa kita tidak semua mengembangkan
Hadiah tahun ini bernilai 11 juta krona Swedia (sekitar Rp 16,4 miliar) yang akan dibagi rata di antara para penerima
Meskipun sistem imun adalah pertahanan garis depan manusia terhadap patogen, kadang-kadang sel T yang berfungsi mendeteksi dan menghancurkan ancaman penyalit, sel T ini bisa berubah menjadi pemberontak gara-gara salah mengira jaringan sehat sebagai ancaman.
Serangan diri ini menjadi dasar penyakit autoimun, yang memengaruhi lebih dari 100 manusia di seluruh dunia. Ini menjadikan sistem imun manusia lebih kompleks daripada yang dipercayai selama ini.
Penelitian Shimon Sakaguchi terjadi pada akhir 1980-an di Universitas Kyoto. Saat itu ia mengamati sel T pada tikus, ia memperhatikan subset yang, alih-alih menyerang, tampak menenangkan kegilaan imun.
"Saya seperti menemukan polisi lalu lintas di kerusuhan," kata Sakaguchi. Pada tahun 1995, ia mendefinisikan ini sebagai sel T regulatori (Treg), kelas yang mengekspresikan protein Foxp3 dan berpatroli di jaringan perifer untuk menegakkan toleransi.
Temuann Sakaguchi ini diperkuat oleh penelitian Brunkow dan Ramsdell, yang karyanya di Jackson Laboratory di Bar Harbor, Maine, memberikan bukti genetik yang tak terbantahkan.
Pada tahun 1999, saat mempelajari strain tikus mutan bernama "scurfy" yang menderita peradangan mirip autoimun yang mematikan, mereka mengidentifikasi mutasi pada gen Foxp3.
Cacat ini melumpuhkan fungsi Treg, menyebabkan sistem imun hewan-hewan tersebut menghancurkan organ mereka sendiri.Temuan mereka, yang diterbitkan di Nature Genetics, menghubungkan pengamatan seluler Sakaguchi dengan genetika molekuler.
"Penemuan Brunkow dan Ramsdell mengonfirmasi bahwa Foxp3 bukan hanya penanda, tapi saklar utama untuk identitas Treg," jelas Dr. Elena Rossi, seorang imunolog di Harvard Medical School.
Hasil dari penelitian tiga ilmuan ini memberikan secercah harapan baru terhadap pengobatan penyakit autoimun dan kanker. Temuan mereka telah mengarah pada pengembangan pengobatan medis potensial yang diharapkan para ilmuwan dapat menyembuhkan penyakit autoimun serta menyediakan pengobatan kanker yang lebih efektif dan mengurangi komplikasi setelah transplantasi sel punca dan organ.(*)