Unhas Speak Up

Gelombang Baru Covid-19 sentuh Negara Tetangga, Indonesia Harus Waspada

UNHAS.TV - Sementara sebagian besar masyarakat Indonesia telah mulai melepas masker dan kembali ke rutinitas lama pasca status endemi diumumkan pada 2023, sejumlah negara di Asia Tenggara justru menghadapi kenyataan berbeda berupa lonjakan kasus COVID-19 kembali terjadi.

Di Thailand, pada bulan Mei 2025, jumlah kasus harian COVID-19 meningkat tajam hingga 1.200 kasus per hari, sebagaimana dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Thailand.

Di Singapura, dilaporkan lebih dari 25.900 kasus baru hanya dalam kurun waktu dua minggu, naik signifikan dari dua minggu sebelumnya. 

Malaysia pun tak ketinggalan. Kementerian Kesehatan Malaysia melaporkan adanya tren kenaikan kasus aktif yang sebagian besar melibatkan varian baru.

Kondisi ini menjadi alarm bagi Indonesia. Dosen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM Universitas Hasanuddin, Dr Santi Rizkiani SKM MKes, memperingatkan publik untuk tidak lalai hanya karena status pandemi telah berubah menjadi endemi.

“Jangan sampai ada pandemi sesi dua. Sekarang kita sedang berada di masa euforia, merasa aman karena sudah divaksin, tidak ada kewajiban masker, tapi justru ini yang bikin kita lengah,” ujar Dr  Santi saat menjadi narasumber dalam Unhas Speak Up.

Dr Santi menjelaskan bahwa perubahan status dari pandemi ke endemi bukan berarti virus telah hilang, melainkan hanya berarti penyebarannya lebih terkendali.

“Endemi itu bukan akhir. Justru saat penyebaran terkendali itulah kita harus jaga-jaga agar tidak meledak lagi,” tegasnya.

Kata Santi, virus masih bisa menyebar dengan cepat, terutama melalui penularan udara (airborne) di ruang tertutup.

Dengan meningkatnya tren perjalanan internasional, termasuk dari Makassar ke berbagai negara Asia, potensi masuknya varian baru ke Indonesia sangat besar.

“Sekarang orang Makassar libur bukan cuma ke Malino, tapi ke luar negeri. Mobilitas tinggi tapi belum ada warning resmi dari pemerintah, ini yang berbahaya,” ungkapnya dengan prihatin.

Apalagi, menurutnya, penularan bukan hanya soal virus, tapi juga soal perilaku masyarakat. Kurangnya kesadaran terhadap gejala awal, abainya masyarakat terhadap protokol dasar, serta tidak adanya sistem deteksi dini di tingkat individu bisa mempercepat ledakan kasus baru.

Menurut Santi, fenomena lonjakan di negara tetangga juga dipicu oleh festival besar, konsumsi hewani tinggi, dan pertemuan massal.

“Ini virus zoonosis, awalnya dari binatang ke manusia. Jadi saat masyarakat banyak konsumsi hewani, perayaan meriah, kerumunan padat itu semua jadi media penyebaran ideal,” katanya.

Meski belum ada lonjakan kasus di Indonesia, bukan berarti risiko itu tidak ada. Ia menekankan pentingnya membangun kembali kewaspadaan dan pola hidup sehat yang sempat masif di masa pandemi.

“Flu tiga hari tidak sembuh, harus waspada. Jangan tunggu sampai sesak napas baru ke dokter. Itu bagian dari resiliensi kesehatan,” jelasnya.

Dinilai Santi, persepsi masyarakat juga sangat berperan dalam menghadapi penyakit, termasuk covid varian baru ini. Ia mengajak semua orang untuk berpikir ulang soal perilaku sehat dan mulai membangun sistem pertahanan pribadi yang tangguh.

“Kalau kita anggap COVID sama seperti flu biasa, kita tidak akan menjaga diri. Tapi kalau kita sadar betapa besar dampaknya ekonomi, sosial, kematian. Jadi kita akan lebih hati-hati,” pesan Dr Santi. 

Selama ini, istilah resiliensi seringkali dikaitkan dengan bencana alam. Padahal menurut akademisi Unhas ini, masyarakat juga harus memiliki resiliensi dalam hal kesehatan.

“Resiliensi itu kemampuan untuk bertahan dan pulih. Kita harus tahu, kalau demam, kita harus apa; kalau flu tak kunjung sembuh, ke mana harus pergi; kalau merasa tidak enak badan, apa yang harus dilakukan. Itu juga bagian dari resiliensi” ujarnya.

Dirinya berharap masyarakat tetap menjaga pola hidup sehat. Makan bergizi, berpikir positif, cukup tidur, dan tidak menunda ke dokter saat tubuh memberi tanda bahaya.

“Orang sehat itu, seperti prinsip promosi kesehatan. Makan sehat, pikir sehat, dan jalan sehat. Jangan tunggu sakit baru panik. Kita sudah pernah belajar dari pandemi, jangan sampai mengulang kesalahan yang sama,” tutup Santi.

(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas.TV)