Saintek
Sosial

Gelombang PHK Jurnalis Terus Meningkat, Apakah Profesi Ini Akan Punah?

UNHAS.TV - Kabar kelam terus membayangi dunia jurnalistik Indonesia. Seiring gelombang disrupsi digital yang tak terbendung, setidaknya 1.200 pekerja media—termasuk jurnalis—telah kehilangan pekerjaan sejak 2023 hingga 2024.

Namun di tengah kecemasan akan "punahnya" profesi jurnalis, muncul pula harapan: inikah momen untuk bangkit dalam wajah baru?

Suasana Aula Prof. Dr. Amiruddin, Fakultas Kedokteran Unhas, pada 22 Mei lalu menjadi saksi diskusi penting soal masa depan jurnalistik Indonesia.

Kalangan akademisi, praktisi media, dan mahasiswa berkumpul untuk mengurai tantangan sekaligus mencari solusi. Sorotan utama tertuju pada realitas pahit yang tengah dialami media konvensional yang kehilangan relevansi dan pendapatan iklan.

Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, lebih dari 75 persen pendapatan iklan kini beralih ke media sosial dan influencer.

Media tradisional tertinggal—bukan karena tak penting, tetapi karena lamban beradaptasi. Mereka kalah cepat dari banjir konten yang lebih murah, lebih ringkas, dan lebih viral.

"Ini bukan tentang hilangnya profesi jurnalis," ujar Jovial Da Lopez, President of Indonesia Chief Creative Officer Narasi.

"Ini tentang cara kita berkomunikasi. Selama kita bisa bicara dengan bahasa zaman—tanpa meninggalkan kebenaran—jurnalis akan selalu dibutuhkan," jelasnya.

Menurut Jovial, jurnalis hari ini harus sadar bahwa mereka bersaing dengan content creator. Bedanya, jurnalis membawa nilai tambah: verifikasi, integritas, dan kedalaman.

"Cara sederhana mempertahankan profesi jurnalis: sadar akan zaman sekarang, zamannya content creator."

"Kita harus bisa beradaptasi, berbicara dengan bahasa yang lebih modern tapi tetap dengan fakta-fakta, crosschecking sumber yang sangat kuat.

"Kalau tidak ada jurnalis, informasi hanya akan jadi opini yang liar," tegasnya dalam forum yang juga dihadiri oleh ratusan mahasiswa Unhas itu.

Pernyataan itu diamini oleh Rektor Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa MSc. Menurutnya, jurnalis memiliki peran penting tidak hanya dalam demokrasi, tetapi juga dalam menjaga moral publik di tengah arus informasi yang tak terkontrol.

“Jurnalis yang bertahan adalah mereka yang mengedukasi, objektif, dan berbasis data,” katanya.

Fenomena PHK massal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, media-media besar seperti Vice, BuzzFeed News, hingga CNN telah melakukan pemangkasan besar-besaran.

Hal tersebut, akibat anjloknya pendapatan iklan digital dan beralihnya audiens ke platform seperti YouTube, TikTok, IG, FB, X, dan aneka podcast.

Namun bukan berarti profesi jurnalis tidak punya masa depan. Justru di era banjir informasi dan hoaks, kehadiran jurnalis yang mampu menyaring dan menyusun kebenaran menjadi sangat vital.

Di tengah "siapa saja bisa jadi penyampai pesan", masyarakat perlu jurnalis yang berani menjadi penjaga kebenaran.

Tantangannya kini adalah transformasi. Jurnalis masa depan harus menguasai keterampilan multimedia, memahami algoritma distribusi konten, serta mampu menyampaikan narasi yang kuat melalui berbagai platform digital tanpa kehilangan akurasi.

Di balik gelombang PHK dan krisis model bisnis media, masih ada secercah harapan. Kampus-kampus seperti Unhas terus melahirkan calon jurnalis dengan kesadaran digital dan nilai etis yang kuat.

Mereka mungkin tidak memakai jas formal seperti dulu, tetapi semangat mereka tetap sama: menyuarakan yang benar, memperjuangkan yang tertindas, dan memelihara nurani publik. Dunia berubah, tapi jurnalis sejati tetap punya tempat—asal mereka mau berubah bersama zaman.

"Mudah-mudahan kehadiran jurnalis yang mampu beradaptasi di era digital dan terus menjadi pilar demokrasi keempat membawa Indonesia lebih baik," harap Prof Jamal.

Ya, jurnalisme tak akan punah. Tapi ia harus berevolusi atau dilindas oleh kencangnya algoritma digital dari aneka macam platform. 

(Andi Putri Najwah / Muh. Syaiful / Unhas TV)