
Heather Sarandos, tengah, dari Baltimore, mengangkat sebuah poster sambil berteriak selama demonstrasi Anti-Trump pada 19 April 2025, di Washington, DC. Credit: Kayla Bartkowski/Getty Images.
Palestina Bagian Agenda Perjuangan Rakyat Amerika
Menariknya, di sejumlah kota, para demonstran juga membawa bendera Palestina dan potret anak-anak Gaza. Seruan untuk menghentikan dukungan Amerika terhadap Israel terdengar lantang, menunjukkan dimensi global dan kemanusiaan dari gerakan ini. Seperti dilaporkan Middle East Monitor, isu Palestina semakin menjadi sorotan dalam gerakan progresif Amerika, terutama di kalangan muda.
Sementara itu, Gihad Elgendy — salah satu demonstran — menyuarakan keprihatinannya atas dampak perang Israel-Hamas dan deportasi terhadap individu yang menggunakan hak kebebasan berpendapat, seperti kasus Mahmoud Khalil, pengungsi Palestina yang izin tinggal permanennya dicabut setelah ikut demonstrasi di Universitas Columbia.
Universitas Bangkit Melawan
Di sisi lain, Emily Yanisko, dosen pendidikan dari American University, menyatakan dukungannya terhadap Universitas Harvard yang menolak permintaan reformasi dari pemerintahan Trump yang dikirimkan melalui surat resmi pada 11 April. Surat itu menuntut pembatasan program-program inklusi, keberagaman, dan anti-bias yang dianggap “antisemit dan bermuatan politik”.
“Kalau universitas sebesar Harvard saja bisa melawan, kita semua harus ikut berdiri,” ujar Yanisko yang membawa poster bertuliskan “Hands off higher education, stay strong Harvard.” Ia mengajak kampus-kampus di seluruh negeri untuk bersatu menghadapi tekanan dari pemerintahan yang dianggap mengancam kebebasan akademik.
Aksi “50501” pada 19 April 2025 bukan hanya unjuk rasa; ia mencerminkan bangkitnya kembali gerakan akar rumput yang bersatu dalam semangat perlawanan terhadap rezim yang dinilai telah melampaui batas. “Kami berjuang demi demokrasi, kebebasan tubuh, ekspresi, dan demi komunitas-komunitas yang selama ini diabaikan,” tutup Sarah Parker.(*)