UNHAS.TV – Wajah ceria anak-anak tak jarang dihiasi deretan gigi yang menonjol ke depan atau dalam istilah medis disebut maloklusi kelas II.
Fenomena gigi tonggos ini sering dianggap warisan dari orang tua. Namun, apakah benar penyebab utamanya adalah genetik, atau ada faktor lain yang memengaruhinya?
Pada sebuah seminar kesehatan gigi anak yang berlangsung di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Hasanuddin (RSGM Unhas), Prof Dr drg Muh Harun Achmad MKes SpKGA Subsp.KKA(K) FSASS, memaparkan fakta menarik tentang asal mula gigi tonggos pada anak.
“Bisa karena faktor genetik, meskipun sebenarnya genetik kayaknya hanya 20-30%. Kalau dulu kita selalu berpaham bahwa auto genetik," ujar Prof Harun, beberapa waktu lalu.
"Bapaknya yang lebar-lebar giginya, kemudian ibunya kecil rahangnya. Padahal, kalau kita melihat secara nyata, tidak ada bayi yang lahir langsung tonggos,” ujar Prof. Harun dalam sesi wawancaranya.
Ia menegaskan bahwa kasus tonggos umumnya mulai terlihat saat anak memasuki usia 5 hingga 7 tahun, bukan sejak lahir.
Dalam dunia kedokteran gigi, maloklusi kelas II merupakan kondisi di mana gigi atas tumbuh lebih maju dibanding gigi bawah. Akibatnya, fungsi mengunyah bisa terganggu dan sering kali menurunkan kepercayaan diri anak.
Menurut Prof. Harun, faktor genetik memang dapat membentuk struktur dasar rahang atas dan bawah. Ketidakseimbangan pada rahang inilah yang menjadi latar belakang pergeseran posisi gigi.
Misalnya, rahang atas yang terlalu maju atau rahang bawah yang terlalu kecil membuat gigi tidak bisa bertemu secara normal.
Namun, genetik bukan satu-satunya dalang. Kebiasaan buruk anak sejak dini juga memiliki kontribusi signifikan. Beberapa perilaku yang perlu diwaspadai orang tua antara lain adalah mengisap jempol secara berlebihan, menggunakan dot terlalu lama melebihi usia balita, serta kebiasaan bernapas melalui mulut.
“Faktor lingkungan dalam tumbuh kembang rahang anak tidak bisa diabaikan. Kebiasaan-kebiasaan itu, jika tidak dikoreksi sejak awal, bisa memicu terjadinya maloklusi,” tambah Prof. Harun.
Sebagai bentuk pencegahan, para orang tua dianjurkan untuk melakukan deteksi dini terutama jika dalam keluarga ada riwayat gigi tonggos.
Pemeriksaan rutin ke dokter gigi anak sangat disarankan guna mengantisipasi pertumbuhan gigi dan rahang yang menyimpang dari normal.
Sejalan dengan hal itu, sebuah studi yang dimuat dalam Journal of Dental Research (Barberia-Leache et al., 2020) mengungkapkan bahwa anak-anak dengan kebiasaan mengisap jari berpotensi memiliki gigi tonggos.
Dtuliskan, kemungkinannya dua kali lebih tinggi mengalami maloklusi dibanding anak-anak yang tidak memiliki kebiasaan tersebut. Penelitian ini menekankan pentingnya peran keluarga dalam mendampingi pertumbuhan orofasial anak.
Di Indonesia sendiri, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan sekitar 28,6% anak usia sekolah mengalami gangguan oklusi, termasuk gigi tonggos.
Angka tersebut menandakan bahwa perhatian terhadap kesehatan gigi anak masih perlu ditingkatkan, terutama dalam fase tumbuh kembang yang kritis.
Gigi tonggos memang bisa menjadi sumber kecemasan, baik bagi anak maupun orang tua. Namun dengan pemahaman yang benar, langkah pencegahan yang tepat, serta dukungan dari tenaga profesional, kondisi ini dapat diatasi secara efektif.
Prof. Harun pun menutup dengan imbauan tegas, “Jangan tunggu sampai anak malu untuk tersenyum. Bawa ke dokter gigi sejak dini. Kita bisa intervensi sebelum semuanya terlambat.”
Jadi, meskipun gen bisa menjadi faktor penyebab, bukan berarti gigi tonggos adalah takdir yang tidak bisa dihindari. Kebiasaan sehat, deteksi dini, dan pengawasan tumbuh kembang anak memegang peran krusial dalam memastikan senyum anak tetap indah dan fungsional.
(Venny Septiani Samuel / Unhas.TV)