Mendengar saya bercerita, Hans memperlihatkan beberapa rosario. “Siapa tahu kamu membutuhkan ini untuk berdoa,” katanya. “Maaf, saya seorang Muslim,” kataku.
Sejenak dia terdiam, kemudian kembali tersenyum. “Tak apa. Jalan spiritual memang universal. Siapa tahu ada pesan dan hikmah yang kamu temukan di sini,” katanya. Saya pun tersenyum dan menjabat tangannya.
Dia menawarkan untuk mengantarkan saya ke Gua Maria. Tapi saya memilih sendirian. Saya menikmati saat-saat berkunjung, melihat dari tepian, sembari memotret.
Saya memulai perjalanan di kompleks itu. Mulanya saya bertemu gerbang, serta lukisan tembok mengenai kelahiran Yesus Kristus. Di ujung jalan kecil, saya melihat ada patung Yesus tengah duduk dan berdoa.
Selanjutnya, saya melihat gerbang kecil bertuliskan “Salve Regina.” Di kiri kanan, terdapat patung kecil putih yang sepertinya adalah para sahabat Yesus. Jumlahnya 11. Di antaraya ada patung St Yohanes dan St Filipus.
Setelah mendaki dan melalui semua patung kecil itu, saya melihat Gua Maria. Di tengah gua, ada patung Bunda Maria, yang mengingatkan saya pada patung Maria di Lourdes. Di depannya ada altar yang berisikan puluhan lilin. Depan patung Bunda Maria, ada patung dua lelaki bersayap yang sedang menyembah. Di dekat altar itu, orang-orang menggantung kalung dengan liontin salib.
Setelah mengambil gambar, saya lalu menelusuri jalan salib. Di situ, ada rute pendek, serta rute panjang. Jika melalui rute panjang, maka kita harus mengitari bukit yang cukup terjal. Saya merasa cukup lelah saat mendaki bukit menuju Gua Maria ini. Saya pun memilih rute pendek.
Bangunan pertama yang saya lihat serupa bangunan di zaman Romawi kuno yang bertuliskan “Grotto Kebangkitan.” Sayang, pintu menuju ke dalam bangunan tertutup. Saya ingat kata Hans di pintu masuk kalau di situ terdapat patung Yesus yang tengah berbaring.
Saya melanjutkan perjalanan dan melihat 14 titik penghentian. Di depan semua penghentian, ada altar yang dipenuhi lilin. Di ujung rute pendek, saya melihat patung Yesus yang sedang menengadah. Ada juga sumur untuk mengambil air suci.
Saat sedang memotret, punggung saya ditepuk seseorang. Saat menoleh, saya melihat wajah Livi yang nampak marah. Pipinya bersemu kemerahan. “Kok gak bilang kalau mau ke sini? Kan kita bisa barengan,” katanya sembari cemberut.
Hmm. Dia semakin manis.