MAKASSAR, UNHAS.TV - Rosario de Marshall, yang lebih dikenal dengan nama Hercules, adalah salah satu sosok paling kontroversial dalam sejarah kriminal dan politik Indonesia.
Berasal dari Timor Timur (kini Timor Leste), perjalanan hidupnya mencerminkan perpaduan antara keberanian, kekerasan, dan transformasi menuju peran yang lebih kompleks di masyarakat.
Tulisan ini akan mengupas siapa Hercules, perannya di Timor Timur, dan bagaimana pengalamannya di sana membentuk posisinya saat ini sebagai tokoh masyarakat, pengusaha, dan ketua organisasi massa di Indonesia.
Hercules lahir pada 27 Mei 1968 di Ainaro, Timor Timur, saat wilayah tersebut masih berada di bawah kekuasaan kolonial Portugis. Ia tumbuh di tengah gejolak politik dan konflik bersenjata yang melanda wilayah itu, terutama setelah invasi Indonesia pada Desember 1975, yang dikenal sebagai Operasi Seroja.
Kehidupan awalnya penuh tragedi; pada 1978, Hercules menjadi yatim piatu setelah kedua orang tuanya tewas dalam serangan di Ainaro.
Pada usia 12 tahun, ia juga kehilangan tangan kanannya akibat kecelakaan helikopter saat membantu operasi militer Indonesia, dan matanya rusak akibat tembakan dari jarak dekat.
Meski mengalami cacat fisik, Hercules menunjukkan ketangguhan luar biasa. Julukan "Hercules" diberikan oleh pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) karena kemampuannya memikul karung seberat 100 kilogram meskipun bertubuh kecil. Nama ini awalnya digunakan sebagai kode komunikasi radio selama operasi militer di Timor Timur.
Pada pertengahan 1970-an, Hercules bergabung dengan militer Indonesia sebagai Tenaga Bantuan Operasi (TBO). Dalam kapasitas ini, ia bertugas sebagai kurir dan juru angkut logistik untuk Kopassus, mendukung operasi militer selama pendudukan Indonesia di Timor Timur (1975–1999). Tugasnya termasuk mengelola gudang logistik dan mengirimkan perbekalan ke pasukan di medan konflik.
Hercules dikenal sebagai sosok pro-integrasi yang mendukung upaya Indonesia untuk mempertahankan Timor Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ia bekerja di bawah perwira seperti Kolonel Gatot Purwanto dan Kapten Prabowo Subianto, yang saat itu memimpin operasi Kopassus di wilayah tersebut.
Kedekatannya dengan Prabowo menciptakan ikatan emosional yang kuat; Hercules bahkan menyebut dirinya "berutang nyawa" kepada Prabowo, yang dianggapnya sebagai satu-satunya orang yang bisa "menyerangnya tanpa ia membalas."
Namun, peran Hercules di Timor Timur juga menuai kontroversi. Di Timor Leste, ia dipandang oleh sebagian pihak sebagai pengkhianat karena membantu militer Indonesia menekan gerakan pro-kemerdekaan, termasuk Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin).
Ia terlibat dalam intimidasi terhadap aktivis pro-kemerdekaan, yang membuat namanya dibenci di kalangan tertentu di Timor Leste pasca-kemerdekaan 1999.
Selama bertugas, Hercules menerima penghargaan Bintang Seroja dari pemerintah Indonesia atas kontribusinya dalam Operasi Seroja. Namun, pengalamannya di Timor Timur juga meninggalkan luka fisik dan trauma, termasuk amputasi tangan kanannya dan kehilangan sebagian penglihatan, yang memaksanya dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto di Jakarta pada 1987.