
Kedua, keterkaitan antara premanisme dan kapitalisme neoliberal belum tergali dalam. Kota-kota besar menjelma menjadi ruang akumulasi modal. Ketika properti menjadi raja dan penggusuran menjadi bahasa pembangunan, preman mengambil peran sebagai “manajer konflik” di lapangan.
Mereka menjaga proyek, membungkam protes, dan mengatur distribusi ruang. Preman bukan pengganggu pasar—mereka adalah agennya. Dalam hal ini, premanisme bukan sekadar residu dari negara yang lemah, melainkan bagian dari strategi neoliberalisme yang mengandalkan informalitas untuk kelangsungan akumulasi.
Ketiga, soal gender nyaris absen. Premanisme adalah kekuasaan yang sangat maskulin, dibangun dari simbol kekuatan fisik dan dominasi. Tapi bagaimana dampaknya terhadap perempuan? Bagaimana tubuh perempuan menjadi objek intimidasi, moralitas dipolitisasi, atau ruang geraknya dibatasi dalam wilayah yang dikuasai oleh logika kekerasan?
Pertanyaan ini tak dijawab secara memadai dalam kerangka Wilson. Padahal, kekuasaan informal juga memiliki wajah patriarki yang menindas secara diam-diam tapi brutal.
Keempat, agama dan moral juga luput dari perhatian. Preman di Indonesia tidak selalu tampil bengis. Mereka kerap mengenakan sarung, menyumbang kegiatan masjid, dan bicara tentang moral.
Dalam masyarakat yang religius, kesalehan sering kali lebih ampuh dari surat izin. Maka legitimasi kekuasaan preman juga dibangun lewat mimbar, bukan hanya pentungan. Inilah yang membedakan konteks Indonesia dari misalnya mafia sekuler seperti Yakuza di Jepang, yang tampil eksklusif, tertutup, dan tidak menyatu dengan kehidupan spiritual masyarakat.
Kelima, dan yang juga krusial: ketiadaan perbandingan internasional. Wilson tidak banyak mengajak pembaca untuk melihat apakah fenomena premanisme Indonesia bersifat unik, ataukah bagian dari pola yang lebih luas di Asia Tenggara.
Bagaimana dengan barangay tanods di Filipina, kelompok sipil bersenjata yang kerap dikendalikan oleh politisi lokal dalam pemilu? Bagaimana dengan chao pho di Thailand—para bos lokal yang berkuasa atas wilayah, kadang melampaui kekuatan aparat? Atau bahkan Yakuza di Jepang, yang meskipun terorganisasi dan ilegal, memiliki status semi-legal dalam struktur sosial dan ekonomi Jepang?
Perbandingan ini penting bukan hanya untuk melihat apa yang mirip, tapi juga untuk memahami apa yang khas dari kasus Indonesia. Di Jepang, Yakuza hidup dalam batas-batas hukum yang ambigu tapi terkontrol.
Di Filipina, preman bisa menjelma menjadi pasukan politik bersenjata. Di Indonesia, preman justru menjadi bagian dari jantung sistem demokrasi elektoral. Mereka bukan hanya alat logistik, tapi representasi dari bagaimana kekuasaan bekerja dalam praktik.
Dengan memperhatikan kekosongan ini—suara korban, dimensi ekonomi-politik, relasi gender, strategi legitimasi moral, dan perbandingan antarnegara—kita dapat memperluas kerangka yang ditawarkan Wilson.
Bukan untuk melemahkan analisisnya, tetapi untuk melengkapi, agar pembacaan kita terhadap premanisme tidak berhenti pada siapa yang berkuasa, tapi juga siapa yang diam-diam dikorbankan dalam sistem itu.
Membaca Politik Jatah Preman seperti membuka tirai di balik panggung demokrasi Indonesia. Wilson tidak sedang menghakimi, tapi memperlihatkan bahwa kekuasaan informal bukan gangguan terhadap demokrasi, melainkan bagian dari cara ia dijalankan. Preman tidak merusak sistem—mereka mengisinya.
Tapi mungkin kita harus menambahkan satu pertanyaan yang tidak sempat dijawab dalam bukunya: jika negara mewujud dalam sosok seperti Hercules, jika hukum hadir lewat genggaman otot, dan jika keamanan dibeli dari orang yang menciptakan rasa takut itu sendiri—maka negara seperti apa yang sedang kita bangun?
Dalam ruang kuliah FISIP sore itu, tak semua pertanyaan menemukan jawaban. Tapi satu hal menjadi terang: bahwa kekuasaan tidak selalu memakai jas dan dasi. Kadang, ia datang dengan batik, lengan bertato, dan cerita tentang orang-orang yang tak pernah benar-benar di luar negara—karena justru berada di dalamnya.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini sedang menulis buku bertemakan ekonomi politik di Indonesia.