Watch Unhas TV Live
Watch Unhas TV Live
Opini

OPINI: Jangan Ikuti Shin Tae-yong

Super Admin26 Apr, 2024
Shin Tae-yong

Oleh: Yusran Darmawan*

Wajahnya datar saja. Saat orang lain bersorak-sorak, dia malah tanpa ekspresi. Shin Tae-yong, pelatih Indonesia asal Korea, tak ingin menunjukkan kegembiraan secara berlebihan. Dia tetap tenang, setenang air mengalir di Sungai Hwang.

Jurnalis asal Korea, Park Jo He, menyebut peristiwa semalam sebagai The Miracle of Doha atau Keajaiban Doha. Ini merujuk pada The Miracle of Kazan saat Shin Tae-yong membawa tim Korea untuk memulangkan Jerman di Piala Dunia 2018.

Kali ini, Shin memoles tim yang paling tidak diunggulkan. Di ajang Piala Asia, tim-tim Asia Tenggara hanya dilihat sebagai pelengkap penderita. Tim Asia Tenggara ibarat samsak bagi tim-tim besar untuk digebuki, lalu dipermalukan.

Tim yang dibawa Shin menjadi tim penuh magma dan membakar tim lawan. Dia membawa tim Indonesia, dari semenjana menjadi tim paling mengejutkan.

Dia menghentikan rekor Korea yang terus tampil di Olimpiade selama 40 tahun. Korea selalu lolos dalam 9 Olimpiade terakhir. Mencapai prestasi besar dengan meraih perunggu London 2012. Pada Rio 2016 dan Tokyo 2020 tampil solid dengan lolos ke perempat final.

Tetapi, Korea harus absen di Paris 2024. Mereka gagal ke semifinal Piala Asia U-23. Shin menyebabkan pemain timnas Korea tersedu-sedu di pinggir lapangan saat Arham Pratama memastikan kemenangan Indonesia.

“Keajaiban Doha ini terjadi dalam suasana yang bahkan lebih luar biasa dibandingkan dengan Keajaiban Kazan. Shin Tae-yong unggul 21-8 dalam tembakan, dan unggul 53-47 dalam penguasaan bola,” kata Park Joo-hee.

Media Korea murka melihat kekalahan ini. Chosun menulis: “Hal itu bukan alasan yang tepat untuk kalah dari Indonesia, yang punya ranking FIFA lebih dari 100 posisi [111 posisi] di bawah. Korea ranking 23 dan Indonesia ranking 134.”

Jurnalis Korea lainnya, Jang Han Seo, menyebut negerinya telah salah langkah saat melepas Shin pasca kegagalan di Piala Dunia 2018. Seharusnya mereka memberikan waktu yang ruang agar sang pelatih bisa membangun skuad dengan baik.

“Shin adalah talenta yang kami lewatkan dengan terburu-buru. Indonesia, di sisi lain, telah diberi banyak waktu. Indonesia mempercayakan Shin untuk menangani tim senior dan juga tim kelompok umur,” katanya.

“Itu adalah pilihan yang logis untuk sebuah tim yang tidak diunggulkan, dan salah satu yang menunjukkan komitmen yang tulus untuk pengembangan permainan,” lanjutnya.

Memang, tak ada proses yang mengkhianati hasil. Tak ada capaian hebat, tanpa usaha yang juga hebat. Beberapa media Korea mengakui kalau mereka terlalu terburu-buru dalam menilai Shin. Satu kegagalan tidak bisa menjadi potret capaian seseorang. Proses adalah upaya untuk menempa seseorang atau satu tim untuk membuat berbagai keajaiban,

Shin Tae Yong mengenang masa-masa pertama ditunjuk jadi pelatih Indonesia. Dia membawa asisten pelatih fisik, Lee Jae Hong, yang mendampinginya sejak di Timnas Korea.

Lee menjelaskan kelemahan fisik timnas Indonesia. Dia mengamati banyak pertandingan. Timnas hanya sanggup bermain selama satu babak. Di babak kedua, stamina mulai turun. Mental juang sudah hilang. Selain itu, timnas selalu kalah duel. Sekali disenggol, langsung tumbang.

Menurutnya, kecepatan pemain Indonesia dan Korea hampir sama. Yang membedakan adalah kekuatan (power), body balance, dan endurance (daya tahan). Indonesia lemah di banyak sisi.

Dia juga melihat mental. Menurutnya, pemain Indonesia terlalu baik dan pasrah. Dalam sepakbola, kebaikan itu tidak berguna. “Anda harus melihat setiap pertandingan seperti perang. Di situ, Anda harus punya semangat menang dan mengalahkan. Harus siap bertarung. Kalau perlu membunuh,” katanya.

‘Kata Lee, fisik dipengaruhi oleh tiga hal yakni gaya hidup pemain, budaya, serta pola hidup. Dia menyoroti pemain yang suka makan gorengan dan nasi. Menurutnya, budaya makan mempengaruhi fisik pemain. Untuk kuat dan berotot butuh makan protein yang banyak.

Di level klub, pemain tidak mengonsumsi makanan bergizi. Tanpa banyak makan protein dan makanan bergizi, maka kebutuhan energi tidak akan cukup. Otot tidak bisa terbentuk. Padahal, sepakbola adalah olahraga fisik. Pemain harus siap berduel, siap main keras dengan kaki.

Lee tidak memahami kalau pemain bola di Indonesia kebanyakan berasal dari masyarakat dengan kategori ekonomi menengah ke bawah. Mereka bermain bola di tengah desakan ekonomi. Bola adalah malaikat yang memberi harapan bagi keluarga.

HALAMAN BERIKUTNYA –>

1 2