Watch Unhas TV Live
Watch Unhas TV Live
Internasional

OPINI: GAZA, Gerakan Anti Zionis Apartheid

Darmadi Tariah29 Apr, 2024
Perkemahan Free Palestine di University of California, Berkeley telah berkembang menjadi sekitar 150 tenda (sumber: X/@rae_wymer)

Oleh: Supa Atha’na

Generasi Z Amerika di universitas-universitas sedang mencari perubahan dalam kebijakan dan politik konservatif Washington yang memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel.

Amerika itu seharusnya menjadi tempat mendapatkan kebebasan sebagaimana semangat dan aspirasi yang mendasari pendirian Amerika Serikat. Sejak awal sejarahnya, Amerika Serikat memang sering dianggap sebagai ‘tempat lahirnya kebebasan’ karena prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia yang dipegang teguh.

The founding fathers U.S.A punya mimpi menjadikan Amerika sebagai model bagi dunia dalam hal kebebasan, demokrasi, dan kemajuan sosial. Bahkan beberapa pemikir klasik abad 19 dalam dunia politik memperkenalkan Amerika sebagai ‘mata air harapan’ bagi dunia.

Ya, istilah ‘mata air harapan’ untuk Amerika Serikat sering kali dikaitkan dengan beberapa pemikir klasik dan tokoh politik abad ke-19. Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Alexis de Tocqueville, seorang penulis dan pemikir politik Prancis yang menulis tentang Amerika Serikat dalam karyanya yang terkenal, ‘De la Democratise en Amerique’ (1835). Dalam karyanya, Tocqueville menggambarkan Amerika Serikat sebagai model bagi dunia dalam hal demokrasi, kebebasan, dan kemakmuran.

Selain Tocqueville, banyak pemikir klasik lainnya juga menganggap Amerika sebagai sumber inspirasi dan harapan bagi dunia. Hal ini terutama terjadi pada masa Revolusi Amerika dan pembentukan negara tersebut di mana gagasan-gagasan tentang hak asasi manusia, kemerdekaan, dan pemerintahan yang berdasarkan kehendak rakyat menyebar ke seluruh dunia dan mempengaruhi gerakan-gerakan pembebasan di berbagai belahan dunia.

Namun kini dua abad kemudian, Amerika tidak lagi menjadi sumber harapan bagi dunia. Bahkan warga negara Amerika, khususnya generasi Z (muda), kecewa dengan kinerja negaranya. Rasa frustrasi ini terlihat terutama dalam protes yang berlangsung selama tujuh bulan terakhir di berbagai kota di Amerika melawan genosida di Gaza.

Aksi protes terhadap perang Gaza tidak hanya terjadi di jalan-jalan, tetapi banyak universitas di Amerika telah menjadi tempat protes besar-besaran mahasiswa yang mencari keadilan atas pengeboman terhadap warga sipil di Jalur Gaza, dan dukungan Washington terhadap perang tersebut.

Protes universitas-universitas di Amerika untuk mendukung Palestina kini telah memasuki babak baru, dan tampaknya meluasnya protes tersebut ke berbagai universitas telah menimbulkan ketakutan bagi para penguasa konservatif Amerika.

Perang rezim Zionis melawan Gaza dimulai setelah operasi Hamas pada tanggal 7 Oktober 2023. Tidak lama kemudian masih di bulan Oktober 2023, Israel melakukan pemboman besar-besaran di Gaza. Atas kejadian itu memicu reaksi dari beberapa universitas di Amerika.

Pada hari ke-12 perang Gaza adalah demo pertama para akademisi di Universitas Harvard. Pasalnya, saat itu sejumlah 33 kelompok mahasiswa merilis pernyataan sikap bahwa Tel Aviv bertanggung jawab atas serangan terhadap Hamas. Kejadian itu menyulut aksi protes akademis yang mendukung Palestina di Amerika.

Untuk mengawal protes dan perjuangan mereka, mahasiswa secara spontan membentuk komite yang mereka sebut ‘Harvard College Palestine Solidarity Committee’ dan ‘Harvard Graduate Students for Palestine.’ Kedua komite itu memulai aksi dengan pawai di kampus utama Harvard.

Perluasan protes universitas atas perang Gaza terjadi di hari ke-23. Protes dan demonstrasi anti-apharteid dan perang menyebar ke universitas-universitas utama Amerika. Setidaknya 9 universitas termasuk Universitas George Washington, Universitas Harvard, Universitas Princeton, Universitas Brown, Universitas Dartmouth, Universitas Cornell, Universitas Pennsylvania, Universitas Columbia, dan Universitas Yale, yang secara kolektif disebut universitas “Ivy League,” termasuk di antara universitas anti-perang di Gaza.

BACA SELANJUTNYA

1 2