UNHAS.TV - Bayangkan Anda sedang menulis di atas kertas ujian atau mengetik di laptop, tetapi jari-jari tangan Anda terasa terus basah.
Lembaran kertas menjadi lembap, tombol papan ketik terasa licin, bahkan ketika hendak berjabat tangan dengan seseorang, rasa percaya diri ikut menguap.
Kondisi ini bukan sekadar keringat biasa. Inilah yang disebut hiperhidrosis tangan, gangguan medis yang sering kali menghambat aktivitas sehari-hari tanpa disadari.
Hiperhidrosis terjadi ketika kelenjar keringat bekerja terlalu aktif, menghasilkan keringat berlebih meski tubuh tidak sedang memerlukan pendinginan.
“Meskipun berkeringat adalah proses alami tubuh, keringat yang berlebihan pada tangan dapat berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari,” ujar dr. Marhaen Hardjo, M.Biomed., Ph.D., Ketua Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, dalam wawancara di ruang kerjanya, Rabu (4/10/2025).
Menurutnya, kondisi ini bisa membuat kegiatan sederhana seperti mengetik, menulis, atau memegang barang menjadi sulit dilakukan. “Ini juga bisa mengganggu pekerjaan profesional yang membutuhkan tangan yang kering,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa hiperhidrosis tidak boleh dianggap sepele karena dampaknya meluas, bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikologis.

dr Marhaen Hardjo MBiomed PhD, Ketua Dept Biokimia FK Unhas. (dok unhas.tv)
Dalam laporan medis yang dikutip dari Mayo Clinic dan Healthline, hiperhidrosis primer biasanya muncul tanpa sebab yang jelas dan lebih sering menyerang telapak tangan, kaki, serta ketiak.
Sementara hiperhidrosis sekunder dapat disebabkan oleh kondisi medis lain seperti diabetes, gangguan tiroid, atau efek samping obat-obatan tertentu.
Meski tidak mengancam nyawa, penyakit ini bisa menjadi beban emosional. Banyak penderita yang merasa malu saat berjabat tangan, atau frustrasi ketika pekerjaan mereka terganggu karena alat tulis mudah tergelincir.
Studi dari International Hyperhidrosis Society menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penderita hiperhidrosis mengalami penurunan kepercayaan diri dan tingkat stres yang lebih tinggi dibanding orang tanpa gangguan ini.
“Dalam beberapa kasus, penderita bahkan memilih menghindari aktivitas sosial. Mereka harus sering mengelap tangan atau membatasi kegiatan tertentu agar tidak terlihat basah,” jelas dr. Marhaen.
Namun, kabar baiknya, hiperhidrosis bisa ditangani dengan berbagai cara. Menurut penelitian terkini, terapi antiperspiran medis yang mengandung aluminium klorida dapat membantu mengurangi produksi keringat.
Jika tidak efektif, dokter biasanya menyarankan terapi iontoforesis, prosedur menggunakan arus listrik ringan untuk menekan aktivitas kelenjar keringat.
Alternatif lainnya adalah suntikan botulinum toxin (Botox) yang dapat menghambat sinyal saraf pemicu keringat selama beberapa bulan.
Dalam kasus berat, tindakan medis yang lebih invasif seperti sympathectomy (pemotongan sebagian saraf simpatis) bisa menjadi pilihan terakhir, meski memiliki efek samping berupa keringat berlebih di bagian tubuh lain.
Selain pengobatan medis, dukungan psikologis juga penting. “Penderita hiperhidrosis sering kali membutuhkan dukungan mental untuk menerima kondisi mereka. Penanganan terbaik adalah kombinasi antara perawatan fisik dan peningkatan kesejahteraan emosional,” kata dr. Marhaen.
Kuncinya, kata dia, adalah mengenali gejala sejak dini dan segera berkonsultasi ke dokter. “Hiperhidrosis bisa dikelola. Dengan pengobatan yang tepat, penderita dapat kembali beraktivitas dengan nyaman dan produktif,” ujarnya menutup perbincangan.
Bagi sebagian orang, keringat mungkin hal kecil. Namun bagi penderita hiperhidrosis, setiap tetesnya adalah tantangan — yang menuntut pemahaman, empati, dan solusi medis yang tepat agar mereka bisa menggenggam hari dengan percaya diri.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)
Hiperdrosis, kondisi telapak dan jari tangan selalu basah. (dok freepick)

 Onk-300x169.webp)




 MHPE (2)-300x169.webp)
-300x200.webp)
