
Dalam peta batin para perantau Mandar, Kalimantan adalah bagian dari dunia mereka, bukan wilayah luar. Maka ketika daratan Sulawesi menjadi tempat yang tak lagi aman, mereka kembali menyusuri jalur-jalur laut yang sudah dikenal oleh ayah dan kakek mereka—menjadikan perpindahan sebagai kelanjutan dari pelayaran, bukan keterputusan.
Simbiosis Maritim
Tiba di Kerasian, Kerayaan, dan Tanjung Seloka, mereka tidak membangun tenda. Mereka mendirikan dermaga. Mereka tidak menyembunyikan diri, mereka membangun kembali. Perahu diperbaiki, pelayaran dilanjutkan.
Dari Donggala dan Tolitoli, mereka mengangkut kopra ke Gresik. Di sana, ditukar dengan gula dan kain. Kemudian dibawa ke Kalimantan atau Sulawesi untuk kembali dibarter. Sistem dagangnya luwes, bergerak seperti ombak. Ekonomi tumbuh, jaringan sosial meluas.
Pada 1980-an, pelayaran mereka menjangkau lebih jauh. Tak hanya kopra, tapi juga kayu dari Katingan, bahan bangunan untuk sekolah-sekolah di Merauke, bahkan avtur untuk pesawat kecil di Papua.
"Saya berlayar hingga ke pedalaman Digul," kenang Junaedy dari Pulau Kerayaan. "Kami angkut semen, seng, dan sembako untuk sekolah di Tanah Merah."
Dalam setiap kapal tersimpan sistem ekonomi khas. Pemilik kapal Mandar bekerja sama dengan pengusaha Cina. Mandar menyediakan kapal dan awak, Cina menyediakan mesin dan modal. Lalu mereka hitung bersama nilai investasi dan membagi hasilnya. Jika kapal dijual, keuntungannya dibagi dua. Bila rugi, ditanggung bersama.
Kerja sama ini disebut simbiosis maritim—ikatan kepercayaan yang lahir dari ombak. Pola ini menular ke kerja sama dengan Bugis, Banjar, dan Madura. Di laut, etnis bukan batas. Yang utama: saling percaya.
Ketika motorisasi kapal datang, mereka tidak tertinggal. Dari layar kecil, mereka naik kelas ke Motor Sailing Boat, lalu ke kapal bermesin 500 ton. Mereka tetap mengisi pasar, bahkan saat pelayaran dikuasai moda modern.
Warisan yang Tak Pernah Diam
Dalam narasi besar Indonesia, pelaut Mandar nyaris tak disebut. Mereka bukan pahlawan dalam buku sekolah. Tak ada nama di prasasti, tak ada patung di alun-alun. Tapi dalam diam, mereka adalah simpul-simpul konektivitas antar-pulau. Jauh sebelum konsep tol laut lahir, mereka sudah menautkan jalur dagang dan budaya.
Mereka tidak sekadar mengangkut barang, tapi membawa nilai. Mereka tidak sekadar menyeberangi Selat Makassar, tapi menjembatani budaya Sulawesi, Kalimantan, Jawa, hingga Papua. Di atas geladak itu berpindah bukan cuma kopra dan kayu, tapi juga bahasa, makanan, dan pandangan dunia.
Para pelaut Mandar membentuk infrastruktur kultural—jaringan tak kasat mata yang menyatukan Indonesia sebagai gugus yang hidup dan saling bersentuh. Saat negara belum hadir di pulau kecil, mereka sudah datang lebih dulu. Saat peta masih kosong, mereka menggambar arah dengan angin dan bintang.
Di atas gelombang, mereka menulis sejarah sendiri. Bukan dengan pena, tapi dengan layar dan tali tambang. Bukan di arsip, tapi di tubuh perahu dan ingatan yang hidup dari mulut ke mulut.
Mereka adalah pahlawan yang tak menaklukkan, tapi menghubungkan. Yang tak mendirikan istana, tapi membangun dermaga. Yang tak mengangkat senjata, tapi menyalakan kompas.
Kini, sebagian dari mereka telah pensiun. Abdul Jabbar membuka toko kelontong di Tanjung Seloka. Tapi kapal masih berlayar. Bahasa Mandar masih terdengar di pelabuhan Kerasian.
Warisan itu tetap menyala—di kayu kapal yang terus melaju, di pasar kopra yang masih berdetak, dan di cara orang Mandar menyebut laut: bukan sebagai batas, tetapi sebagai jalan pulang.
Dan mungkin, di tengah dunia yang makin sibuk menatap langit, mereka mengingatkan kita untuk kembali melihat laut—sebagai cermin dari siapa kita sesungguhnya: bangsa yang lahir dari pelayaran, dan tumbuh dari arus yang tak pernah diam.