Oleh: Yusran Darmawan*
Di antara aroma kayu tua dan bebatuan keraton yang mulai rapuh, sejarah masih bersuara di Buton. Namun bukan dalam pekik perang atau gemuruh politik, melainkan dalam bisikan lembut ayat-ayat tasawuf yang tertulis dalam manuskrip kuno.
Di sinilah agama dan budaya bertemu, bukan dalam bentuk formal, tetapi dalam lapisan-lapisan batin yang memandu hidup masyarakat Buton selama berabad-abad.
Falah Sabirin, dalam artikel ilmiahnya yang berjudul “Tasawuf dan Peradaban Manuskrip Buton: Studi Teks dan Konteks”, menyingkap tabir yang menyelimuti peran tasawuf dalam membentuk wajah peradaban Buton.
BACA: Hiroko Yamaguchi, Jejak Buton di Negeri Sakura
Melalui pendekatan filologis dan antropologis, ia menyusuri teks-teks manuskrip tua yang memuat ajaran Tarekat Sammaniyah, sebuah aliran tasawuf yang menekankan dzikir, adab, dan penyerahan total kepada Allah.
Salah satu tokoh sentral dalam manuskrip-manuskrip itu adalah La Ode Aegu, seorang sufi dan intelektual lokal yang menuliskan ajaran-ajaran spiritual dengan gaya yang khas.
Naskah-naskahnya kini dijaga oleh putranya, La Ode Syafiuddin, meski belum sepenuhnya terdokumentasi rapi sebagaimana koleksi Abdul Mulku Zahari. Namun bagi Sabirin, nilai dari teks-teks itu justru terletak pada keberakarannya dalam realitas lokal.
“Obedience unites us, and disobedience separates us” . Ketaatan menyatukan kita, dan ketidaktaatan memecah belah kita.
Demikian kutipan dalam salah satu manuskrip dari ajaran Syekh al-Samman, pendiri tarekat yang banyak memengaruhi dunia Islam abad ke-18. Kalimat ini tak hanya bicara tentang ketaatan spiritual, tetapi juga tentang tata sosial, tentang bagaimana masyarakat Buton menjaga kohesi dan etika bersama.
Tarekat Sammaniyah sendiri tumbuh dari tradisi tasawuf Sunni dan menyebar luas dari Hijaz ke dunia Melayu.
Dalam pandangan Prof. R. Michael Feener, pakar Islam Asia Tenggara dari Kyoto University, “The spread of the Sammaniyah order to the Malay-Indonesian world reflects a deepening of transregional Sufi connections in the 18th century, particularly through pilgrims and ulama returning from Mecca with spiritual chains and reformist zeal.”
Penyebaran Tarekat Sammaniyah ke dunia Melayu-Indonesia, menurutnya, mencerminkan pendalaman hubungan sufistik lintas kawasan yang dibawa oleh jamaah haji dan ulama lokal, termasuk di Buton, yang kembali dari Mekkah dengan sanad spiritual dan semangat pembaruan.
Senada dengan itu, Dr. Muhammad Kamal al-Din, peneliti tarekat dari Sudan, menulis: “What distinguished the Sammaniyah was not just the litanies or rituals, but its moral framework of adab and brotherhood which reshaped local Muslim communities.”
“Yang membedakan Tarekat Sammaniyah bukan hanya dzikir dan wiridnya, tetapi kerangka moralnya tentang adab dan persaudaraan yang membentuk ulang komunitas Muslim lokal.”
Kedua pandangan ini menguatkan temuan Falah Sabirin bahwa pengaruh Tarekat Sammaniyah di Buton tidak hanya bersifat spiritual-ritual, melainkan juga membentuk lanskap sosial, kultural, dan bahkan politik masyarakat Buton.
Ketika Tasawuf Menjadi Tulang Punggung Budaya
Penelusuran Sabirin menunjukkan bahwa ajaran tasawuf tidak hadir sebagai sistem ritual eksklusif, melainkan meresap ke dalam sistem nilai, praktik harian, hingga struktur politik Kesultanan Buton.
Tarekat Sammaniyah, yang menjadi arus utama tasawuf di Buton, mengajarkan keseimbangan antara dzahir dan batin, antara syariat dan hakikat.
Dalam surat Ali 'Imran ayat 191 disebutkan, “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring…” Ayat ini menjadi dasar spiritual untuk praktik dzikir dalam Tarekat Sammaniyah.
Masyarakat Buton memaknainya bukan hanya sebagai ibadah, tapi sebagai kerangka hidup. Bahkan posisi berdiri, duduk, dan berbaring—menjadi metafora tentang kesadaran dalam setiap fase hidup manusia.