Budaya

Kampung Rama, Mozaik Kebudayaan Toraja yang Hidup dan Tumbuh dalam Harmoni Urban

UNHAS.TV - Di balik padatnya arus lalu lintas dan deretan pertokoan di Jalan Dirgantara, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, terdapat sebuah kampung yang tak biasa.

Namanya Kampung Rama. Rama adalah akronim dari Rantepao - Makale, dua nama ibu kota kabupaten di Tana Toraja dan Toraja Utara.

Kawasan ini bukan sekadar permukiman biasa, melainkan mozaik kebudayaan Toraja yang hidup dan tumbuh dalam harmoni urban. Kampung ini dihuni sekitar dua ribu jiwa dari 60 kepala keluarga, mayoritas berasal dari suku Toraja.

Sejak lama, orang-orang Toraja di Kampung Rama mempertahankan jati diri mereka melalui tradisi, kerja keras, dan kehidupan sosial yang rukun.

Bukan hanya etnisitas yang membuatnya istimewa, tapi juga tata kelola lingkungannya yang bersih, tertib, dan tertata rapi.

Jalan kampung diaspal dengan baik, rumah-rumah berdiri serasi, dan gapura besar bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Rama” menyambut siapa pun yang masuk.

Menurut Nop Lande, Ketua RT setempat, Kampung Rama tergolong maju dibandingkan banyak kampung kota lainnya di Makassar.

“Rata-rata warga kami punya penghasilan tetap. Ada yang kerja sebagai PNS, swasta, pengusaha, bahkan ada yang sukses di luar kota tapi tetap pulang membangun kampung,” ujarnya.

Kerukunan di Kampung Rama bukan sekadar slogan. Di wilayah ini berdiri tujuh denominasi gereja dan satu komunitas umat Katolik. Uniknya, ada pula beberapa keluarga Muslim yang hidup rukun berdampingan tanpa sekat.

Suasana perayaan Hari Natal dan Hari Raya Idul Fitri di kampung ini kerap jadi momen kolaborasi antarpemeluk agama. Mereka saling kunjung, saling bantu, dan menjaga harmoni sosial.

Usaha Peti Jenazah

Di sisi ekonomi, warganya cukup produktif. Salah satu yang menjadi perhatian adalah usaha peti jenazah milik Misel.

Usaha ini dirintis orang tuanya sejak puluhan tahun lalu dan kini diteruskan olehnya sebagai bentuk pelayanan sosial.

Peti jenazah yang dijual bervariasi, mulai dari Rp1,5 juta tergantung model dan bahan. Namun, nilai sesungguhnya dari usaha ini justru pada sisi kemanusiaannya.

“Kalau ada keluarga kurang mampu, kami bisa berikan peti tanpa dipungut biaya. Ini bukan semata soal bisnis, tapi bentuk pengabdian,” tutur Misel saat ditemui di bengkel kerjanya.

Selain peti jenazah, keluarga Misel juga melayani jasa perawatan jenazah, transportasi, hingga bantuan liturgi. Usaha itu menyerap tenaga kerja lokal, sekaligus mempererat solidaritas sosial di antara warga.

Potensi Kampung Rama semakin kentara ketika program Lorong Wisata digaungkan Pemerintah Kota Makassar. Dengan penataan rapi, kekompakan warga, dan nilai budaya yang kuat, Kampung Rama digadang-gadang sebagai kandidat lorong wisata unggulan.

“Kalau lihat kuliner khas Toraja yang dijajakan di depan rumah-rumah warga, ini sudah seperti pusat budaya mini,” kata seorang pengunjung, Lena Rantung, warga Makassar yang rutin datang untuk membeli pa'piong dan kapurung.

Menurut data Dinas Kebudayaan Kota Makassar, terdapat lebih dari 100 lorong budaya yang tersebar di kota ini, namun hanya sedikit yang menunjukkan kekhasan etnis dan budaya secara nyata seperti Kampung Rama.

Lorong ini tidak hanya memamerkan ornamen atau mural etnik, tapi kehidupan nyata suku Toraja—dari bahasa, makanan, hingga upacara adat.

Dalam peta urbanisasi di Makassar, Kampung Rama adalah contoh kecil dari bagaimana etnis minoritas dapat bertahan dan beradaptasi dalam ruang kota tanpa kehilangan identitas budaya.

Penelitian dari Universitas Hasanuddin pada 2023 mencatat bahwa kawasan-kawasan seperti Kampung Rama menunjukkan tingkat integrasi sosial yang tinggi, di mana toleransi dan nilai gotong royong menjadi penopang utama.

Seiring program pembangunan partisipatif yang digalakkan Pemkot Makassar lewat Lorong Wisata, Kampung Rama berpotensi menjadi model kawasan tematik yang berbasis kultural dan sosial.

Namun, seperti yang ditekankan Nop Lande, semua pencapaian ini bukan hanya karena program pemerintah, melainkan karena kekompakan dan kesadaran kolektif warga.

“Kami hidup dalam semangat Tongkonan—rumah kebersamaan dalam budaya Toraja. Jadi tak heran kalau kampung ini hidup bukan karena bantuan, tapi karena kebersamaan,” ujarnya.

Di tengah gempuran modernisasi kota, Kampung Rama berdiri sebagai oase nilai-nilai lama yang terus tumbuh: gotong royong, toleransi, dan kerja keras. Sebuah kampung kecil, tapi dengan pesan yang besar.

(Zulkarnaen Zumar / Unhas.TV)