UNHAS.TV - Pada satu masa, sejarawan Abd. Rahman Hamid berdiri di Pelabuhan Majene. Di hadapannya, perahu-perahu sandeq mengiris cakrawala, mengantar dagangan, harapan, dan kesunyian yang penuh makna. Bukan kapal besar, bukan pula milik negara.
Tapi dari layar-layar sederhana itu, Hamid menangkap sesuatu yang lebih dalam: jejak panjang maritim yang berdenyut dalam tubuh orang Mandar. Pemandangan itulah yang kemudian menumbuhkan tanya—ke mana sesungguhnya arah layar-layar ini berlabuh?
Mengapa orang Mandar banyak ditemukan di luar Sulawesi? Apa yang menggerakkan mereka berpindah, membentuk komunitas baru, namun tetap menjunjung laut sebagai poros hidup?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi benih riset panjangnya. Dalam artikel ilmiah berjudul “The Role of the Mandar Diaspora in South Kalimantan in Establishing Indonesia’s Maritime Network, 1970s–2000s”, Hamid bersama para peneliti BRIN—Idham, Lamijo, Nensia, Hamsiati, dan Muhammad Nur Ichsan Azis—melacak bagaimana diaspora Mandar tidak sekadar menyebar, tetapi membentuk simpul penting dalam jaringan maritim Indonesia.
Tak banyak yang tahu bahwa saat tanah Sulawesi dilanda gejolak pada 1950-an, ketika kampung-kampung pesisir dibakar dalam konflik Darul Islam/DI-TII, sebagian orang Mandar tak memilih melawan dengan senjata.
BACA: Dari Kopra ke Kapal; Kisah Pelaut Mandar Melawan Monopoli
Mereka memilih laut. Mereka mengangkat sauh, membawa anak-anak dan harapan, naik ke atas perahu leté yang ringkih, menyeberang ke Kalimantan Selatan. Bukan karena laut lebih ramah, tapi karena laut lebih bisa dipercaya. Di laut, mereka menemukan arah.
Jejak Awal Diaspora Mandar
Setiap diaspora lahir dari dorongan yang tak tertahan. Bagi orang Mandar, itu datang dalam dua bentuk: tekanan kolonial dan kobaran konflik.
Pada 1930-an, pemerintah kolonial memberlakukan kerja paksa (heerendienst) selama sebulan setiap tahun. Bagi pelaut dan pedagang seperti orang Mandar, ini menghambat pelayaran dan merusak irama ekonomi.
Maka banyak yang memilih meninggalkan daratan. Mereka menuju pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan, tempat yang sebelumnya hanya persinggahan, kini menjadi rumah baru.
Lalu pada 1950-an, kekacauan meningkat. Kampung-kampung dibakar. Teror menjalar. Seperti yang dialami Haji Abdul Jabbar dan Muhammad Said, banyak yang melarikan diri dari pesisir Majene ke Kalimantan.
Tapi perpindahan itu, kata Hamid, bukan semata pengungsian. Itu adalah migrasi sadar, sebuah keputusan yang diambil dengan naluri bahari yang telah melekat sejak lama.
Kalimantan bukanlah tempat asing bagi mereka—ia telah lama menjadi titik singgah dalam jaringan pelayaran Mandar, sebuah wilayah yang ada dalam ingatan kolektif para pelaut sebagai pelabuhan yang ramah dan penuh kemungkinan.