Budaya

Dari Kopra ke Kapal: Kisah Pelaut Mandar Melawan Monopoli

UNHAS.TV - Bayangkan dua peneliti sejarah berdiri di tepian Pelabuhan Majene. Angin laut menerpa wajah mereka, aroma garam bercampur bau kayu tua dari perahu-perahu yang kini lebih banyak diam ketimbang berlayar.

Di sanalah, di dermaga yang tampak biasa saja, Abd Rahman Hamid dan Susanto Zuhdi mencoba menghidupkan kembali denyut masa lalu.

Di balik suara ombak yang tak pernah berhenti, mereka mendengar gema cerita tentang pelaut yang disingkirkan, tentang pedagang kecil yang diperas, dan tentang sepotong sejarah ekonomi maritim Indonesia yang nyaris terlupakan.

Abd Rahman Hamid adalah sejarawan dan peneliti di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung. Sementara itu, Susanto Zuhdi adalah guru besar ilmu sejarah di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Keduanya menelusuri rekam jejak pelabuhan Majene dengan menggabungkan arsip kolonial, laporan militer, serta wawancara dengan pelaut-pelaut tua yang pernah berlayar dalam badai ketidakpastian.

Dalam artikel ilmiah berjudul The Dynamics of Shipping and Trade of Majene Port in Indonesian Archipelago, 1950s–1970s, yang terbit dalam jurnal Kemanusiaan (2025), mereka membongkar jalinan kekuasaan, perlawanan, dan keteguhan hidup di tengah kekacauan.


Majene, sebuah pelabuhan di pesisir barat Sulawesi, pada masa itu bukan sekadar titik lalu lintas dagang—ia adalah ladang konflik antara tentara negara dan kelompok gerilya Darul Islam/TII. Komoditas yang jadi rebutan: kopra.

Alih-alih menjadi titik tolak kemakmuran, Majene terjebak dalam konflik bersenjata dan ketegangan ekonomi yang menghimpit kehidupan warga. Tentara Indonesia, khususnya Batalion 710 dan pasukan tak resmi TBO (Tjadangan Bantuan Operasi), mengontrol perdagangan kopra dengan tangan besi.

Sementara itu, kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Abdul Qahhar Mudzakkar dari arah pedalaman menerapkan blokade ekonomi terhadap kota.

Kondisi ini membuat rakyat berada di antara dua pilihan getir: tunduk kepada kekuasaan militer atau bergabung dengan kelompok pemberontak. Bagi pelaut Mandar, jalan keluar ditempuh melalui jalur laut.

Mereka beralih ke praktik simukel—smuggling atau penyelundupan. “Kalau tidak simukel, kita makan apa?” ujar seorang pelaut, sebagaimana dikutip dalam artikel.

Nama-nama seperti Hamarong dan Jaarung Pua Anwar muncul sebagai simbol perlawanan kreatif. Mereka menyelundupkan kopra ke Tawau, Malaysia, atau Parepare, lalu kembali membawa barang konsumsi seperti gula dan beras untuk warga.

Dalam satu kisah, Pua Anwar pernah dihajar tentara karena menyimpan uang di lambung perahu. Namun risiko itu tak menghalangi semangat bertahan hidup di tengah keterjepitan.

Dari kondisi ini juga muncul dua tokoh wirausaha penting: Muhammad Saleh Pua Abu dan Haji Sikir. Pua Abu membangun armada pelayaran dari keuntungan simukel, mendirikan empat kapal besar dan menjadi bendahara Persatuan Pelayaran Majene.

Namun usahanya tenggelam bersama berakhirnya era perahu layar dan insiden karamnya Gunung Mandar di Selat Bangka.

Sebaliknya, Haji Sikir yang memulai dari pengangkutan kopra dengan kendaraan tentara, berhasil mentransformasi usahanya menjadi konglomerasi bisnis di bawah bendera PT Fajar Mas.

Ia membangun pasar, terminal, sekolah, bahkan pondok pesantren di berbagai daerah di Sulawesi. Sementara Pua Abu berhenti pada era pelayaran tradisional, Sikir melaju dengan diversifikasi usaha dan modernisasi.

Namun di balik kisah inspiratif itu, artikel ini juga membuka sisi kelam militerisme ekonomi. Andi Selle Mattola, komandan Batalion 710, menguasai perdagangan kopra melalui perusahaan keluarga dan menggunakan aparatnya untuk memeras warga.

Barang siapa membuat minyak kelapa atau memanjat pohon tanpa izin, siap-siap menerima hukuman. Warga pun menyebut batalion ini sebagai batalyon dollar—tanda betapa jauhnya mereka dari visi perlindungan rakyat.

Ketimpangan, kemiskinan, dan pengungsian menjadi pemandangan rutin. Harga beras melambung dari Rp1,70 per liter (1952) hingga Rp180 per liter (1964). Kota Majene kekurangan pasokan pangan, bahan bakar, dan bahkan uang receh. Wabah cacar dan penyakit menular lain menambah penderitaan.

Seperti dicatat Hamid dan Zuhdi, studi ini menegaskan pentingnya konsep tanah-air—sebuah istilah yang bukan sekadar geografis, melainkan konseptual.

Dalam sejarah maritim Indonesia, pelabuhan bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ia berdenyut seiring dengan detak kehidupan di darat: dengan politik yang bergolak, dengan masyarakat yang terpecah, dan dengan kekuasaan yang saling mencengkeram.

Ketika daratan terguncang oleh konflik antara tentara dan gerilya, maka pelabuhan pun ikut terombang-ambing. Arus perdagangan, pola migrasi, hingga harga kebutuhan pokok pun bergantung pada stabilitas tanah yang menopangnya. Dengan demikian, tanah dan air tidak bisa dipisahkan, karena pelabuhan hanya bisa hidup jika jalinannya dengan hinterland berjalan harmonis.

Dalam konteks Majene, pelabuhan menjadi medan tempur kekuasaan sekaligus ruang perlawanan warga—menjadikannya simbol paling nyata dari dinamika Indonesia sebagai negara kepulauan yang selalu dinegosiasikan antara laut dan darat, antara pusat dan pinggiran.

Dengan menyatukan arsip, wawancara sejarah lisan, dan pendekatan mikrohistoris, artikel ini memperlihatkan bahwa di tengah sistem yang mencekik, manusia tetap punya daya hidup. Seperti laut yang terus beriak meski diterpa badai, masyarakat Mandar menemukan celah untuk bernapas—melalui layar yang mereka bentangkan sendiri.