UNHAS.TV - Program Koperasi Desa Merah Putih menjadi salah satu langkah strategis pemerintah dalam membangun sistem ekonomi dari tingkat akar rumput.
Dengan anggaran fantastis mencapai Rp400 triliun dan target pendirian 70.000 hingga 80.000 koperasi desa, program ini dirancang sebagai pendorong kebangkitan ekonomi desa yang selama ini dianggap tertinggal dari arus pembangunan nasional.
Namun, di balik ambisi besar itu, pertanyaan krusial pun muncul: sudah siapkah infrastruktur, sumber daya manusia (SDM), dan mekanisme implementasi di lapangan?
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas), Dr Nur Alamzah SE MSi dalam program siniar "Unhas Speak Up", menyampaikan bahwa pemerintah memang memiliki niat baik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui koperasi.
"Motivasi dari pemerintah adalah membangkitkan pertumbuhan ekonomi desa yang pada akhirnya menciptakan kesejahteraan. Tapi pertanyaannya, apakah kita siap?" ujar Nur Alamzah.
Ia menilai bahwa keberhasilan koperasi ini ditentukan oleh kesiapan banyak aspek, salah satunya adalah SDM. "The right man on the right place. Kita butuh SDM yang sadar (awareness), termotivasi (motivation), dan memiliki kemampuan (capability). Ini yang saya sebut dengan model AMC," jelasnya.
Dr. Nur Alamzah juga menyoroti sejarah panjang kegagalan koperasi-koperasi sebelumnya seperti KUD, BUMDes, maupun program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang menurutnya tidak menunjukkan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Salah satu penyebabnya adalah dominasi koperasi simpan pinjam dibanding koperasi sektor riil. "Selama 80 tahun Indonesia merdeka, lebih dari 60% koperasi kita adalah koperasi simpan pinjam. Padahal koperasi yang berhasil di negara lain justru yang mengutamakan sektor riil," tegasnya.
Transformasi besar-besaran diperlukan agar koperasi tidak lagi hanya menjadi lembaga keuangan sederhana, tapi menjadi pusat pengolahan, pusat pelatihan, hingga pusat distribusi ekonomi masyarakat desa. "Kita harus move on. Harus bertransformasi dari sekadar simpan pinjam menjadi penggerak sektor ril. Kalau tidak, koperasi Desa Merah Putih hanya akan menjadi program yang bernasib sama dengan pendahulunya," kata Nur Alamzah.
Ia menyarankan penerapan model relasiomorfosis, yakni pendekatan transformasi sosial-ekonomi yang menggabungkan berbagai unsur seperti inovasi, digitalisasi, dan kolaborasi antara petani, nelayan, dan pengrajin.
Konsep ini, menurutnya, terbukti berhasil dalam riset lapangan yang pernah ia lakukan, termasuk pada koperasi pengrajin koper di Sidoarjo serta koperasi kopi Gayo di Aceh.
Namun, keberhasilan koperasi tidak hanya bergantung pada SDM internal. Nur Alamzah menegaskan perlunya kolaborasi relasional antar pemangku kepentingan: pemerintah, perguruan tinggi, pelaku usaha, dan masyarakat desa.
Perguruan tinggi, menurutnya, memiliki tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan dan memberdayakan. "PTN harus hadir sebagai pusat pelatihan, pusat konsultasi, bahkan pusat pemasaran. Mereka harus menjadi jembatan antara koperasi desa dan akses pasar yang lebih luas, termasuk pasar ekspor," ujarnya.
Sayangnya, karakter rekrutmen struktural di Indonesia masih menyisakan masalah klasik: kedekatan personal lebih diutamakan daripada kompetensi. "Karakter seperti ini sudah menjadi budaya. Orang yang dekat justru yang sering dipasang di posisi strategis. Ini yang harus direformasi," katanya.
Dalam tahap implementasi, setiap desa perlu melakukan analisis lingkungan (environmental scanning) untuk mengetahui keunikan dan potensi lokal masing-masing.
"Dengan begitu, produk yang dihasilkan tiap koperasi bisa berbeda dan punya nilai tambah, bukan malah tumpang tindih dan tidak efisien dalam distribusi," tambahnya.
Keberhasilan program ini juga perlu diukur melalui indikator yang jelas. Dari sisi keuangan, dapat dilihat dari peningkatan pendapatan masyarakat, profitabilitas koperasi, pertumbuhan aset, dan dividen bagi anggota.
Dari sisi sosial, keberhasilan dapat ditinjau dari peningkatan jumlah anggota koperasi, perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta meningkatnya semangat kolaborasi antar pelaku usaha lokal.
"Ketika koperasi menjadi ruang kolaborasi, bukan persaingan, maka dampaknya jauh lebih besar. Tidak ada lagi saingan, semua menjadi mitra, bekerja sama, sukses bersama," kata Dr. Nur.
Ia berharap perguruan tinggi seperti Unhas dapat menjadi inisiator pemetaan peran setiap pemangku kepentingan, sehingga terjadi sinergi nyata yang mempercepat tercapainya visi besar koperasi ini.
Menutup perbincangan, Nur Alamzah menegaskan bahwa keberhasilan koperasi Desa Merah Putih membutuhkan desain yang utuh: perencanaan yang matang, implementasi yang kuat, SDM yang mumpuni, dukungan anggaran yang memadai, regulasi yang fleksibel, serta evaluasi yang berkelanjutan.
"Kita sedang bicara tentang anggaran ratusan triliun. Ini bukan angka kecil. Maka jangan pula kita punya visi kecil," pungkasnya.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)