Breaking News
Ekonomi
Polhum

Danantara: Mimpi Soemitro, Pertaruhan Prabowo

Pagi itu, langit di atas Istana Kepresidenan Jakarta tampak biru, seolah menyambut sebuah babak baru dalam perjalanan ekonomi bangsa. Para undangan, mengenakan setelan terbaik mereka, duduk dalam barisan rapi, menanti momen yang telah lama disiapkan. 

Suara lonceng istana berdentang pelan, seperti memberi tanda bahwa sejarah baru akan ditorehkan. 

Di tengah podium, Presiden Prabowo Subianto berdiri tegap. Dia didampingi Presiden ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden ke-7, Joko Widodo. Suara Prabowo mantap saat mengumumkan kelahiran Daya Anagata Nusantara—Danantara. Sebuah nama yang bergaung seperti mantra, membawa harapan untuk kemandirian ekonomi negeri ini.

Di balik peresmian itu, ada sebuah mimpi lama yang kembali hidup. Soemitro Djojohadikusumo, seorang begawan ekonomi yang telah lama meninggalkan dunia ini, mungkin sedang tersenyum di tempatnya yang sunyi. 

Sejak dahulu, ia bercita-cita membangun sebuah badan investasi negara yang dapat mengelola kekayaan Indonesia dengan tangan yang lebih cekatan, lebih mandiri. Bukan sekadar menjadi perpanjangan birokrasi, bukan pula sekadar alat politik, melainkan institusi yang benar-benar mampu membuat negeri ini berdiri di atas kakinya sendiri.

Mimpi Soemitro adalah tentang sebuah Indonesia yang tak lagi terpaku pada pinjaman luar negeri, yang tak lagi menjual kekayaan alamnya dengan harga murah kepada dunia. 

Ia membayangkan sebuah badan yang dapat mengelola sumber daya dengan visi jangka panjang, menginvestasikan keuntungan untuk generasi mendatang, dan menjadikan negara ini lebih berdaulat dalam perekonomian global. 

Kini, anaknya sendiri yang mewujudkan mimpi itu, dengan segala tantangan yang mengiringinya.

Namun, sebagaimana mimpi besar lainnya, jalannya tak akan mulus. Tantangan terbesar yang menghadang bukan hanya soal modal dan regulasi, tetapi juga soal kepercayaan.

Sejarah menunjukkan bahwa dana investasi negara sering kali menjadi lahan subur bagi kepentingan politik dan korupsi. Ada pertanyaan yang menggelayut di benak banyak orang: akankah Danantara benar-benar menjadi alat untuk menyejahterakan bangsa, ataukah ia akan menjadi bagian dari pusaran kekuasaan yang melayani segelintir orang?

Di sisi lain, ada pula skeptisisme terhadap struktur dan mekanisme pengelolaannya. Dengan aset yang mencapai lebih dari US$900 miliar, Danantara akan menjadi salah satu sovereign wealth fund terbesar di dunia. Namun, bagaimana memastikan bahwa dana sebesar itu dikelola dengan transparansi? Bagaimana memastikan bahwa kepemilikan negara atas aset-aset strategis tidak tergadai demi ambisi jangka pendek?

Pengalaman negara lain bisa menjadi cermin. Singapura, dengan Temasek Holdings-nya, telah menunjukkan bagaimana dana investasi negara dapat dikelola secara profesional dan transparan. 

Temasek bukan hanya berhasil meningkatkan nilai asetnya, tetapi juga memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Singapura dengan kebijakan investasi yang cermat dan disiplin. 

Malaysia dengan Khazanah Nasional juga memiliki pelajaran penting: meskipun mampu mengembangkan aset negara, Khazanah sempat mengalami tantangan besar akibat intervensi politik yang menghambat pengelolaan profesionalnya.

Dari sini, Danantara bisa belajar untuk memastikan bahwa tata kelola yang baik dan transparansi menjadi prinsip utama.

Media Internasional

Media internasional pun mulai mencermati Danantara. Financial Times menyoroti bagaimana konsentrasi kekuasaan dalam pengelolaan dana ini dapat menimbulkan risiko intervensi politik yang berlebihan. 

Reuters mengamati bahwa meskipun Danantara memiliki potensi besar, keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana pemerintah menerapkan prinsip-prinsip good governance. 


>> Baca Selanjutnya