Budaya
Unhas Speak Up

Angngaru dan Sito'bo Lalang Lipa', Fakta Sejarah atau Mitos yang Terpelihara?

UNHAS.TV – Di era kekinian, budaya semakin mudah diproduksi ulang dan disebarluaskan melalui media sosial, film, dan konten visual lainnya.

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran mendalam dari kalangan akademisi terhadap praktik-praktik budaya yang telah melenceng dari akar sejarahnya. 

Ketua Program Studi Magister Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas), Amrullah Amir SS MA PhD menyampaikan kritik keras terhadap sejumlah praktik budaya populer yang dianggap tidak relevan dengan fakta sejarah, bahkan berbahaya.

Dalam program siniar Unhas Speak Up, Amrullah Amir menyoroti bagaimana budaya yang sejatinya sakral dan memiliki makna simbolik dalam struktur masyarakat tradisional, kini telah mengalami penyimpangan makna dan konteks.

Salah satu contoh yang menjadi sorotannya adalah Angngaru, tradisi Bugis-Makassar yang kini kerap disalahartikan dan dipertontonkan dalam bentuk yang keliru.

“Sebenarnya banyak sekali kejadian-kejadian akhir-akhir ini yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Contoh sederhana Angngaru. Itu sudah banyak memakan korban,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa Angngaru bukanlah pertunjukan fisik atau atraksi ekstrem, melainkan bentuk sumpah setia dari bawahan kepada raja mereka. Ritual ini dilakukan hanya dalam konteks sebelum atau setelah peperangan, dan bersifat sangat terbatas.

“Itu hanya ditujukan kepada raja ketika akan ada peperangan atau setelah peperangan dan itu dilakukan oleh bangsawan, atau bawahan kepada raja," jelasnya.

"Saya tidak pernah menemukan literatur yang menyebutkan bahwa Angngaru itu dilakukan dengan cara menikam badannya, itu bagian dari tradisi Ma'giri, dan itu dua hal yang berbeda,” tegasnya.

Penulis buku "Sejarah Berdirinya Universitas Hasanuddin" ini mengkritik tajam penyatuan dua ritual yang berbeda—Angngaru dan Ma’giri yang akhirnya menciptakan persepsi baru yang salah di masyarakat.

Lebih parah lagi, beberapa pertunjukan modern bahkan menampilkan adegan penikaman tubuh sebagai bagian dari Angngaru, yang bukan hanya salah secara sejarah, tetapi juga membahayakan jiwa pelakunya.

“Itu tidak tepat, dan itu berbahaya karena memakan korban. Kita harus luruskan. Boleh memodifikasi budaya, tapi jangan salah-salah," tegasnya.



"Untuk memodifikasi itu diperlukan kesepakatan bersama. Tidak bisa sembarangan melakukan kegiatan budaya yang tidak punya dasar. Tidak ada datanya itu orang angngaru sambil tikam badannya,” kata Amrullah Amir. 

Selain Angngaru, narasi populer lain yang mendapat perhatian adalah Sito’bo Lalang Lipa, yang merupakan duel antar lelaki dalam sarung sebagai simbol kejantanan. Meski banyak dipercaya masyarakat sebagai tradisi leluhur, menurutnya, konsep ini tidak pernah tercatat dalam literatur lokal maupun kolonial.

“Saya sering dihubungi sama teman-teman, untuk memberikan komentar terhadap itu (Sito'bo Lalang Lipa'). Itu hanya konsep ideal yang ada di dalam kepala, bahwa kejantanan laki-laki itu ketika dia menang bertarung dalam sarung.

"Tapi tidak ada satupun literatur yang membahas tentang itu. Dulu orang bertarung ya langsung main tikam aja, nggak ada masuk-masuk sarung.” tegasnya. 

Menurut dosen yang membidangi Sejarah Maritim dan Sejarah Sosial-Budaya ini, Fenomena tersebut mencerminkan kondisi sosial masyarakat yang kehilangan kepercayaan diri terhadap identitas budayanya sendiri.

Dalam kondisi tersebut, mereka mencari idealisasi di luar fakta sejarah, lalu membungkusnya dalam bentuk “tradisi baru” tanpa landasan kuat. 

Yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana media populer seperti film, konten kreator, hingga pertunjukan seni menyebarkan narasi-narasi ini seolah sebagai kebenaran.

“Masyarakat kita saya lihat kehilangan kepercayaan diri. Jadi mereka mencari berbagai hal di luar budayanya, dan mengidealisasi sesuatu tanpa mempelajari konteks sejarahnya. Ini masalah,” ungkapnya.

(Iffa Aisyah Rahman / Unhas.TV)