Budaya
Unhas Speak Up

Lima Gender dalam Masyarakat Bugis: Tradisi yang Bertahan di Tengah Modernitas

Malam itu, di sebuah rumah panggung tua di pelosok Sulawesi Selatan, nyala lilin bergetar diterpa angin. Seorang bissu, sosok yang dianggap suci dalam tradisi Bugis, duduk bersila di tengah ruangan. 

Mantra pelan terdengar dari bibirnya, berpadu dengan aroma dupa yang memenuhi udara. Di luar, modernitas terus merayap, membawa perubahan yang tak terelakkan. Namun, di dalam ruangan itu, waktu seakan berhenti—menjaga warisan yang semakin langka.

Masyarakat Bugis memiliki cara pandang unik terhadap gender. Prof. Dr. Nurul Ilmi Idrus, M.Sc., Guru Besar Antropologi Universitas Hasanuddin, menjelaskan bahwa sejak dahulu, mereka mengenal lima gender: oroane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berperan sebagai laki-laki), calabai (laki-laki yang berperan sebagai perempuan), dan bissu (gender ambigius yang memiliki peran spiritual). 

"Lima gender ini bukan sekadar identitas, tetapi juga bagian dari sistem sosial yang telah diwariskan turun-temurun," ujarnya.



Bagi sebagian besar masyarakat luar, konsep ini mungkin terdengar asing. Namun bagi orang Bugis, lima gender bukan hanya realitas sosial, melainkan juga refleksi dari keseimbangan dalam kehidupan mereka.

Bissu: Penjaga Tradisi yang Kian Langka

Di antara lima gender ini, bissu menempati posisi paling sakral. Mereka bukan hanya orang yang berada di antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dunia spiritual.

Prof. Nurul Ilmi Idrus menjelaskan bahwa bissu memiliki keunikan tersendiri. "Mereka dianggap sebagai penjaga keseimbangan, tidak hanya dalam struktur sosial tetapi juga dalam upacara-upacara adat. Mereka menjalani ritual khusus untuk memperoleh status ini, dan kehadiran mereka dalam berbagai prosesi adat sangat penting," ungkapnya di program Unhas Sepak-Up.

Namun, eksistensi bissu kini semakin terancam. Upacara sakral yang dulu menegaskan keberadaan mereka kini semakin jarang dilakukan. "Banyak orang muda yang tidak lagi tertarik menjadi bissu. Tanpa regenerasi, keberadaan mereka bisa punah," tambahnya.

Antropolog Dr. Sharyn Graham Davies, yang telah lama meneliti gender dan seksualitas di Indonesia, mengungkapkan bahwa sistem lima gender Bugis merupakan salah satu contoh luar biasa dari keberagaman gender di luar konsep biner Barat. 

"Di banyak budaya Barat, gender sering kali dilihat secara biner—laki-laki atau perempuan. Namun, masyarakat Bugis memiliki perspektif yang jauh lebih kompleks dan fleksibel," katanya dalam sebuah wawancara.


>> Baca Selanjutnya