Budaya
Unhas Speak Up

Lima Gender dalam Masyarakat Bugis: Tradisi yang Bertahan di Tengah Modernitas



Seorang bissu muda di satu acara adat di Sulawesi Selatan

Menurutnya, studi tentang bissu bisa membuka wawasan global mengenai bagaimana masyarakat adat mengelola identitas gender. "Meskipun ada tantangan dari modernisasi dan agama, sistem lima gender ini menunjukkan bahwa identitas gender bisa sangat kontekstual dan beragam," tambahnya.

Benturan dengan Agama dan Modernitas

Meskipun sistem lima gender ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bugis selama berabad-abad, perubahan zaman menghadirkan tantangan baru. Pandangan keagamaan yang semakin konservatif membuat eksistensi gender nonbiner ini semakin dipertanyakan.

"Ada yang percaya bahwa keberadaan calabai atau bissu membawa kesialan. Beberapa orang bahkan menghindari mereka karena takut terkena dampak buruk," ujar Prof. Nurul Ilmi.

Dr. Sharyn Graham Davies menambahkan bahwa di banyak tempat, pengaruh agama sering kali membuat konsep gender yang lebih fleksibel menjadi sulit diterima. 

"Di Indonesia, kita melihat bagaimana norma-norma agama yang lebih konservatif mulai membatasi ruang bagi identitas gender yang sebelumnya diterima dalam budaya tradisional," ujarnya.

Diskriminasi ini semakin tajam ketika nilai-nilai global yang lebih rigid terhadap gender mulai merasuki masyarakat Bugis. Media sosial dan pendidikan modern sering kali mengajarkan konsep gender yang lebih biner, yang pada akhirnya membuat generasi muda Bugis semakin menjauh dari konsep tradisional mereka sendiri.

Melestarikan atau Merelakan?

Di tengah modernisasi yang tak terhindarkan, pertanyaan besar pun muncul: Apakah lima gender Bugis akan tetap bertahan, ataukah akan hilang ditelan zaman?

"Jika kita ingin mempertahankan tradisi ini, maka harus ada upaya yang lebih serius untuk mendokumentasikan dan memperkenalkannya kepada generasi muda," kata Prof. Nurul Ilmi.

Dr. Sharyn Graham Davies menambahkan bahwa dokumentasi dan pengakuan akademik dapat membantu melestarikan warisan ini. 

"Meneliti dan menyebarluaskan informasi mengenai lima gender Bugis ke dunia internasional dapat menjadi cara agar mereka tetap diakui dan dihormati," katanya.

Namun, apakah masyarakat Bugis siap untuk mempertahankan tradisi ini di tengah perubahan sosial yang terus bergulir?

"Dunia berubah, dan kita tidak bisa melawan arus. Tapi jika kita tidak menjaga warisan kita, maka siapa lagi yang akan melakukannya?" tanya Dalle, seorang calabai yang kini bekerja sebagai perias pengantin di Makassar.

Mungkin, jawabannya ada di tangan generasi muda Bugis—apakah mereka akan memilih untuk merawat atau merelakan warisan gender unik yang telah bertahan selama berabad-abad ini?