Opini
Polhum

Jejak HMI dalam Diplomasi Nurani Anwar Ibrahim



saat Anwar Ibrahim menghadiri acara KAHMI di Kuala Lumpur

Anwar juga mengidolakan pemikir, sekaligus sastrawan Buya Hamka. Dari pria asal Maninjau ini, dia menyerap keteguhan hati yang lembut tapi tak tergoyahkan. Buya adalah gambaran keulamaan yang bersahaja, tetapi tajam dalam prinsip. 

Dalam karya-karyanya, Anwar menemukan ajaran tentang akhlak yang tidak hanya bicara baik dan buruk, tetapi tentang keberanian memikul kebenaran dalam sepi. Ia belajar bahwa kehormatan tidak dibangun di atas popularitas, tapi pada keikhlasan dalam menanggung risiko.

Bahwa menjadi benar sering kali berarti menjadi sendiri. Dari Buya Hamka, Anwar belajar bahwa politik tanpa akhlak hanyalah permainan kekuasaan, dan agama tanpa kasih sayang hanyalah suara kosong di ruang sunyi.

Maka tak heran, ketika ia hadir di tengah konflik Thailand dan Kamboja, yang ia bawa bukan strategi geopolitik, melainkan ketulusan dan empati. Ia tahu, damai bukan sekadar garis batas, melainkan kesediaan untuk saling mendengar dan memahami.

Dan itu hanya bisa dicapai oleh mereka yang pernah memahami luka, pernah berjalan dalam gelap, dan tetap memilih cahaya.

Anwar pernah dipenjara karena membela kaum miskin. Dia pernah menjadi tangan kanan Mahathir, lalu dijatuhkan oleh rezim yang sama. Dia disiksa, wajahnya lebam di hadapan jutaan pemirsa televisi. Tapi dia tidak patah.

Dia tidak larut dalam dendam. Dia tetap menulis, berdiskusi, dan menjalin pertemanan lintas benua. Dalam keterasingannya, Indonesia menjadi tempat bernaung. Ia sering datang ke Jakarta, menyambangi Habibie, Jusuf Kalla, para intelektual, dan sahabat-sahabat HMI.

Di tanah ini, ia merasa pulang. Karena di sinilah, mimpi tentang Islam pembebas mulai tumbuh.

Apa yang ia lakukan untuk Thailand dan Kamboja bukan sekadar diplomasi. Itu adalah puncak dari sebuah ziarah panjang: dari Pekalongan ke Putrajaya, dari ruang kaderisasi ke ruang kekuasaan.

Itu adalah perwujudan dari Islam yang dia kenal sejak muda. Islam yang menjadi jembatan, bukan tembok. Islam yang tidak takut pada perbedaan, karena percaya pada keagungan kemanusiaan.

Anwar Ibrahim tak datang membawa mukjizat. Tapi dia membawa harapan bahwa politik bisa dijalankan dengan nurani. Bahwa idealisme tidak selalu gugur di pelataran istana. Bahwa luka bisa menjadi cahaya. Bahwa jalan sunyi bisa mengantar pada damai.

Dari Bangkok hingga Phnom Penh, dari Jakarta hingga Kuala Lumpur, nama Anwar bukan menggema karena kekuasaan. Tapi karena keteladanan. Ia bukan hanya pemimpin yang mendamaikan dua negara. Dia adalah gema dari Nusantara.

Dia membawa nur HMI ke panggung dunia.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.