News

Jet Tempur Berseliweran di Langit Indonesia: Arah Baru, Risiko Baru



Pesawat Chengdu J-10


Lebih jauh ke utara, di Hanoi dan Manila, dua ibu kota yang menghadapi tekanan langsung dari Tiongkok dalam konflik Laut Cina Selatan, kegelisahan muncul dari arah yang berbeda.

Pembelian J-10C, jet tempur produksi negara yang kerap menekan perairan Natuna Utara, menciptakan kesan ambigu: apakah Indonesia masih bisa diandalkan sebagai penyeimbang kawasan?

Apakah keputusan ini menandakan adanya kompromi politik terhadap klaim Tiongkok, atau setidaknya penurunan tensi resistensi yang selama ini membuat posisi Jakarta unik?

Bukan Sekadar Dagang

Kekhawatiran ini makin kuat karena pembelian pesawat tempur bukan transaksi biasa. Ia melibatkan pelatihan, perawatan, pengiriman data, bahkan potensi integrasi sistem tempur.

Hubungan militer adalah bentuk diplomasi paling intim antarnegara—dan begitu ia terjalin, sulit untuk memisahkan efek militernya dari dampak politik jangka panjangnya. Itulah sebabnya, keputusan Indonesia mengadopsi alutsista dari Tiongkok tak hanya mengubah isi gudang senjata, tapi juga mengubah cara negara-negara tetangga membaca niat dan posisi Indonesia dalam konfigurasi kekuatan di Asia-Pasifik.

Namun semua itu baru prolog dari sebuah babak baru. Sebab jika seluruh pengadaan pesawat ini rampung—42 Rafale dari Prancis, 42 J-10C dari Tiongkok, dan kolaborasi strategis dengan Korea Selatan dalam pengembangan jet generasi 4.5+ KFX Boramae.

Indonesia tak hanya memperkuat armada udaranya. Ia tengah membentuk arsitektur pertahanan yang bisa mengubah peta kekuatan regional Asia Tenggara.

Rafale dikenal sebagai jet tempur multirole dengan teknologi sensor fusion, sistem peperangan elektronik Spectra, dan kemampuan jelajah jauh. J-10C, meskipun bukan jet generasi kelima, sudah mengusung radar AESA dan mampu membawa rudal PL-15 dengan jangkauan lebih dari 200 km.

Sedangkan KFX Boramae, yang dikembangkan bersama Korea Selatan dan dijadwalkan masuk lini produksi Indonesia lewat PT Dirgantara Indonesia, membawa cita-cita kemandirian teknologi pertahanan. Ketiganya adalah representasi dari tiga kutub kekuatan teknologi militer global: NATO, Tiongkok, dan Asia Timur progresif.

Kekuatan Udara

Jika dikalkulasikan secara kasar, dengan total 126 jet tempur baru (belum termasuk F-16 yang telah di-upgrade dan Sukhoi Su-27/30), Indonesia berpotensi memiliki kekuatan udara paling besar di Asia Tenggara, melampaui Thailand, Malaysia, bahkan Singapura dari sisi kuantitas.

Namun dominasi udara bukan hanya soal angka. Yang jauh lebih menentukan adalah kemampuan integrasi, komando dan kontrol, kesiapan logistik, serta ekosistem pertahanan yang mendukung keunggulan tempur berkelanjutan.

Apakah ini akan menggetarkan negara lain? Sudah pasti. Di Filipina, sinyalemen semacam ini dibaca sebagai potensi pergeseran penyeimbang kawasan—terlebih jika hubungan militer Indonesia dan Tiongkok menjadi terlalu erat.

Di Singapura, yang selama ini dikenal paling unggul dalam hal kualitas peralatan dan pelatihan pilotnya, penambahan Rafale dan Boramae oleh Indonesia akan dilihat sebagai peningkatan level permainan.

Sementara di Vietnam, negara yang sangat waspada terhadap hegemoni Beijing, langkah Indonesia dibaca ambigu: membangun kekuatan, tapi juga membuka pintu baru yang rawan intervensi.

Dalam dunia pertahanan, ketakutan jarang diucapkan terang-terangan. Tapi ia hadir dalam peningkatan anggaran, penguatan radar, dan sinyal diplomatik. Maka, langkah Indonesia bukan hanya memperbesar otot militernya, tetapi juga memicu kalkulasi ulang banyak negara di kawasan.


>> Baca Selanjutnya