
Pesawat Dasault Rafale
Untuk pertama kalinya dalam dua dekade terakhir, Indonesia bukan sekadar negara dengan populasi terbesar dan garis pantai terpanjang di ASEAN—tapi juga calon pengendali langit regional.
Namun pertanyaan kunci tetap sama: apakah Indonesia siap menanggung bobot dari kekuatan yang sedang dibangunnya? Sebab kekuatan, dalam geopolitik, bukan hanya tentang punya—tetapi juga tentang dipersepsikan, direspons, dan digunakan dengan hati-hati.
Ketika semua mata tertuju ke langit kita, satu manuver salah bisa mengubah persepsi dari "penjaga stabilitas" menjadi "pemain berisiko tinggi".
Penghapusan unggahan Menhan bukanlah sekadar insiden media sosial. Ia menandakan sesuatu yang lebih dalam: bahwa di dalam pemerintahan sendiri, isu ini belum benar-benar solid.
Bisa jadi, sensitivitas informasi itu terlalu tinggi untuk diumumkan tanpa koordinasi lintas instansi. Atau mungkin, tekanan dari mitra strategis membuat unggahan itu harus ditarik demi menjaga relasi bilateral lainnya. Namun efeknya justru sebaliknya.
Di tengah era digital, jejak digital unggahan itu cepat tersimpan, dibagikan ulang, dianalisis. Diskusi publik berkembang—bukan hanya soal jet tempur, tapi tentang arah politik luar negeri Indonesia.
Media pertahanan global mulai memberitakan rencana pelatihan pilot Indonesia di Tiongkok. Bahkan pengamat regional menyebut ini sebagai salah satu langkah paling signifikan Indonesia sejak era Sukarno, saat negara ini bermain di antara blok Timur dan Barat.
Indonesia jelas ingin memperkuat postur militernya. Itu tak terbantahkan. Tapi memperkuat bukan berarti tunduk pada salah satu kekuatan dunia. Persenjataan adalah instrumen, bukan identitas.
Dan ketika instrumen itu datang dari negara yang juga sedang menguji batas kedaulatan kita di perairan utara, maka wajar jika muncul tanya: siapa yang sebenarnya sedang kita hadapi? Dan siapa yang sedang kita dekati?
Langit adalah ruang luas tanpa batas, tetapi di balik awan, ada garis tipis antara pertahanan dan penyerahan arah. Pengiriman pilot Indonesia ke Tiongkok untuk mempelajari J-10C mungkin adalah soal efisiensi militer. Tapi bagi dunia, itu adalah sinyal yang menggema jauh lebih keras.
Dan ketika sinyal itu sudah mengudara, menghapus unggahan tak akan membuatnya hilang.
Sebab langit, sekali disentuh oleh niat dan ambisi, akan menyimpan gema selama mungkin. Ia tak sekadar menyaksikan deru mesin dan bayang jet yang melintas, tapi juga memantulkan arah sebuah bangsa: apakah ia sedang terbang menjauh dari porosnya, atau tengah mencari orbit yang baru.
Di langit itu, tak ada yang benar-benar netral. Hanya ada jejak—dan pilihan—yang akan selalu dibaca, ditafsir, dan diingat.